Hijau itu Menyejukkan, Kawan
“… atau mungkin alam enggan bersahabat dengan kita, coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”, demikianlah bunyi sepenggal syair lagu Berita pada Kawan yang dipopulerkan oleh Ebiet. Lagu itu seakan terus mengiringi perjalanan bangsa Indonesia yang dilanda bencana sejak kejadian Tsunami Aceh tahun 2004 hingga kini.
Bencana yang melanda di berbagai belahan dunia saat ini terjadi bukan tanpa sebab. Ya, pemanasan global bukanlah isu belaka. Ketidakteraturan iklim dan cuaca, peningkatan suhu di permukaan Bumi, dan kenaikan permukaan air laut menjadi bukti dari fenomena alam ini. Apabila tak ditanggapi dengan serius, pemanasan global ini akan tentu berdampak fatal terhadap eksistensi makhluk hidup di Bumi. Misalnya, ketidakteraturan iklim dan cuaca. Melesetnya perkiraan waktu perubahan musim telah mengakibatkan kegagalan panen di sejumlah wilayah di tanah air. Akhirnya, yang terjadi akan sesuai dengan teori rantai makanan pada pelajaran Biologi, “Jika tumbuhan sebagai produsen telah mati, hewan dan manusia sebagai konsumen-konsumen berikutnya juga akan ikut mati”
Lantas, apa sebenarnya penyebab terjadinya pemanasan global ini? Efek rumah kaca. Hati-hati, efek rumah kaca bukanlah efek yang ditimbulkan oleh menara/gedung bertingkat yang memiliki dinding kaca, melainkan efek gas-gas di udara yang menyebabkan terperangkapnya panas di permukaan Bumi, yaitu gas karbondioksida (CO2) dan metana (CH4). Dalam jumlah kecil, gas-gas tersebut memang dibutuhkan Bumi supaya permukaan Bumi tetap hangat terjaga. Akan tetapi, dalam jumlah besar, gas-gas ini amat merugikan sebab panas sinar matahari yang dipantulkan oleh permukaan Bumi tidak akan terpantul ke luar lagi, tetapi akan tetap terkurung di permukaan Bumi.
Sebagai makhluk penghuni Bumi, mau tidak mau manusia harus berperang melawan pemanasan global. Pelestarian lingkungan atau go green adalah caranya. Seluruh lapisan masyarakat dapat memberi andil dalam pelestarian lingkungan ini. Pemerintah mengupayakan berbagai gerakan penghijauan dengan penanaman sejuta pohon. Kaum cendekiawan mungkin tengah berupaya melakukan riset untuk mengatasi hal ini. Kaum masyarakat awam? Jangan dikira kaum ini tidak bisa berbuat apa-apa. Kalau pelestarian lingkungan hanya dimaknai sebagai suatu proyek, hasil yang didapat tidak akan pernah maksimal sebab tidak ada kontinyuitas. Oleh karena itu, yang terbaik adalah memaknai pelestarian lingkungan sebagai sebuah kebiasaan hidup.
Identik dengan kata-kata motivator tenar di dunia, ”Mengubah keadaan dimulai dengan mengubah diri Anda sendiri”, kebiasaan-kebiasaan yang selama ini kita lakukan perlu kita tinjau ulang. Dimulai dari bangun pagi. Mengandalkan penerangan dari sinar matahari dengan mematikan lampu dari pagi hingga sore hari adalah kebiasaan hidup hijau. Matikan pula alat-alat elekronik lainnya yang tidak sedang digunakan.
Berikutnya, adalah mengenai apa yang kita makan. Setelah diteliti, peternakan ternyata adalah penyumbang emisi gas CH4 terbanyak. Hiromi Shinya, seorang guru besar kedokteran di Amerika, dalam bukunya “The Miracle Enzyme” bahkan menyebutkan, konsumsi daging sehari-hari cukup 15% dari keseluruhan konsumsi makanan kita. Sayur-sayuran dan buah-buahan harus lebih kita prioritaskan sebagai menu makanan sehari-hari, sebab bermanfaat baik bagi tubuh, dengan banyaknya enzim yang dikandungnya. Tidak selalu harus menjadi vegetarian, cukup kurangi konsumsi daging Anda sampai 15%, dan Anda akan menjadi pahlawan bagi Bumi.
Kebiasaan berikutnya adalah di bidang transportasi. Bepergian untuk jarak dekat dapat ditempuh dengan berjalan kaki. Untuk jarak menengah, sepeda adalah alternatif yang baik. Selain bebas polusi, sepeda akan menyehatkan Anda. Bila jarak cukup jauh, menaiki angkutan umum adalah pilihan terbaik. Kemacetan di jalan yang sering dialami oleh masyarakat kota besar sebenarnya terjadi karena berlimpahnya jumlah kendaraan yang ada. Bayangkan apabila seluruh orang yang bepergian dalam jarak jauh mau menggunakan angkutan umum. Kelancaran, keteraturan, dan udara yang sejuk akan kita dapatkan. Jangan tunggu lagi, Anda bisa memulainya dari sekarang.
Kebiasaan lainnya misalnya adalah dengan menanam tanaman di sekitar rumah. Manusia harus bisa mawas diri. Sampai saat ini, satu-satunya alat tercanggih yang mampu mengurangi emisi karbon di udara adalah tumbuhan hijau. Ia menyerap karbondioksida di udara untuk proses fotosintesis dan menghasilkan oksigen (O2) yang dibutuhkan oleh seluruh makhluk hidup untuk bernapas. Tidak ada pilihan lain, eksistensi tumbuhan hijau di Bumi ini memang harus diperhitungkan. Keegoisan manusia untuk menguasai seluruh Bumi dengan gedung dan bangunan hendaknya diredam. Dengan kepadatan penduduk yang ada, manusia semestinya juga harus memadati kota dengan tumbuhan hijau. Darimanakah oksigen itu berasal selain dari tumbuhan hijau?
Masih banyak lagi kebiasaan hidup hijau lainnya yang bisa kita temukan. Cermati kembali kebiasaan-kebiasaan kita dan aplikasikan pengetahuan akan cara hidup hijau itu ke dalamnya. Mari berperang melawan pemanasan global! Hijau itu menyejukkan, kawan!
Artikel ini ditulis untuk mengikuti Lomba Artikel Ilmiah IATMI 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar