Laman

Senin, 21 Januari 2019

Jejak Etnis Cina/ Tionghoa di Salatiga (1740 - 1925)

Waktu setahun itu ternyata berlalu begitu cepat. Rekam jejak digital menunjukkan bahwa saya pernah menjadi kontributor artikel mengenai jejak etnis Cina ini di Blog TBM Citra Raya: http://tbm-citraraya.blogspot.com/2018/04/istana-djoen-eng-di-salatiga-sekarang.html pada tanggal 5 April 2018.


.. dan pada tanggal 21 Januari 2019 ini, saya mendapatkan kesempatan untuk bercerita, membuat bunyi dari tulisan-tulisan hasil karya Pak Eddy Supangkat (Istana Djoen Eng & New Galeria Salatiga) dan Mas Abel Jatayu (Diskriminasi Rasial di Tanah Kolonial) di dalam buku-bukunya.


Di depan 4 orang mahasiswi pertukaran dari Australia, saya bersama Mbak Ambar mencoba memberikan literasi kebhinekaan, cagar budaya, dan sejarah yang ada di Kota Salatiga ini. Mbak Ambar memulai pemaparan dengan memberikan pengantar mengenai pluralisme yang ada di kota yang terletak di lereng Gunung Merbabu ini. Selanjutnya, saya menyampaikan kronologi kedatangan etnis Cina di Salatiga, yang berdasarkan literatur yang ada saat ini, dimulai secara masif pada saat terjadi Tragedi Angke/ Geger Pecinan pada bulan Oktober 1740. Keputusan etnis Cina perantau dari  Batavia untuk tinggal menetap di Salatiga setelah tragedi itu tak lepas dari sosok kepemimpinan Raden Mas Said/ Pangeran Sambernyawa dari Kerajaan Mataram pada waktu itu, yang secara gigih mau membela rakyat berperang melawan Kompeni di daerah Jawa Tengah.

Singkat cerita, keputusan etnis Cina untuk menetap di Salatiga ini telah mampu menarik orang-orang Belanda untuk bermukim di sini, hingga pada suatu ketika ada 2 tokoh nasional/ internasional beretnis Cina yang berkenan membangun rumah, bahkan istana yang megah di kota kecil ini. Ya, tokoh yang pertama bernama Oei Tiong Ham, orang Semarang yang dijuluki Raja Gula dari Asia dan tokoh yang kedua bernama Kwik Djoen Eng, orang Taiwan yang telah meninggalkan bangunan cagar budaya berarsitektur Cina termegah di Jalan Diponegoro Salatiga (dulu Tuntangsche Weg, ruas jalan yang di-plot untuk kawasan permukiman orang-orang Eropa).

Bagaimana mungkin seorang Cina diperbolehkan membangun "Istana Cina" di ruas jalan orang Eropa? Tidak tanggung-tanggung, istana milik perseorangan ini luasnya mencapai 1% dari total luas wilayah Salatiga dan menghabiskan biaya pembangunan senilai 3 juta gulden (setara Rp 24 miliar)! Bagi saya pribadi, hal ini telah menunjukkan seberapa digdayanya sosok Djoen Eng, seberapa ulet dan mumpuninya kemampuan yang dimiliki untuk melobi Pemerintah Hindia Belanda pada waktu itu. Sangat disayangkan, istana dengan 5 kubah ini hanya boleh ditinggalinya selama 5 tahun. Krisis ekonomi yang melanda saat itu mengharuskan istana yang satu ini disita oleh De Javasche Bank untuk membayar utang-utang Djoen Eng. Saat ini Istana Djoen Eng ini menjadi Rumah Khalwat Roncalli, sebuah tempat penyegaran jiwa untuk komunitas Katolik yang dikelola oleh Bruderan FIC.


Beberapa pesan yang ingin saya tinggalkan melalui tulisan ini adalah
1) Seberapa terpuruknya kita saat ini, kalau kita mau giat berusaha, segala sesuatu yang baik bisa terjadi. Geger Pecinan tahun 1740 yang menewaskan 10.000 orang Cina mestinya membuat orang Cina down. Tapi lihat, apa yang bisa dilakukan oleh Oei Tiong Ham dan Kwik Djoen Eng ini..!
2) Pluralisme di Indonesia itu memang sudah ada sejak dulu kala. Tidak akan ada Indonesia tahun 2019 ini kalau di abad ke-18 dan ke-19 itu orang Indonesia sibuk bertikai satu dengan yang lain mengurusi persoalan perbedaan. Jadi, belajar sejarah itu ternyata penting supaya kita tahu kesalahan apa yang dilakukan leluhur kita di masa lalu dan hal apa yang harus kita lakukan di masa mendatang untuk lebih maju.

Selain Istana Djoen Eng, jejak Tionghoa di Salatiga lainnya bisa dibaca di artikel berikut: https://percik.or.id/2018/11/09/jalan-jalan-yuk-mengenal-bangunan-bersejarah-kota-salatiga/

Terima kasih, Sobat Muda! Terima kasih, literasi!!


Salatiga, 21 Januari 2019

der gruene Baum

Jumat, 18 Januari 2019

Sebuah Refleksi di TBM Lama

Sampai dengan detik yang lalu aku masih berpikir bahwa
"Muda itu Kesempatan Berkarya",

tapi ketika aku mendalami dunia kerelawanan dan mengenal sosok-sosok seperti Bu Dwi Rohyatiningsih dan Kang Nurul Ilmi, mindset itu berubah. "Berkarya itu ternyata benar-benar bukan soal usia, melainkan soal nilai yang kita perjuangkan dalam hidup ini"

Kamu kerja di mana, kamu naik mobil apa, posisimu apa, gajimu berapa. Ini semua adalah "harga" yang ditawarkan oleh dunia zaman now.
Sementara "nilai" adalah semangat, kesetiakawanan, komitmen, visi, dan empati..

.. yang seringkali kini hilang tergerus oleh arus perubahan zaman


TBM Citra Raya Lama, 18 Januari 2019