Laman

Selasa, 22 Mei 2018

Kisah Perburuan Foto di Landau in der Pfalz dan Sebuah Refleksi

Sebuah pertanyaan TTS dari Cak Lontong di acara Waktunya Indonesia Berbuka hari ini (ya, ini tidak typo. "Berbuka" bukan bercanda, karena acara ini acara live di bulan puasa) telah membuatku menuliskan artikel ini.

Ada enam kotak, huruf ke-5 nya O.
Seorang kiper kesebelasan Juventus yang tahun ini memutuskan untuk gantung sepatu ...

Buffon (Gianluigi Buffon)! Kira-kira begitu jawaban normatifnya dari TTS di atas. Namun, Cak Lontong adalah Cak Lontong. Ia tidak mungkin begitu saja membenarkan jawaban normatif Anda di acara kuis yang dibawakannya. Adakah di antara teman-teman yang kebetulan juga menonton atau bisa menjawab?

Sambil memikirkan jawabannya, ini saya mau menceritakan sebuah kisah lawas..

***

Pernahkah teman-teman mendengar sebuah kota di Jerman yang bernama Landau? Kalau ternyata belum, jangan merasa malu atau minder.  Seperi halnya kota Frankfurt yang harus memakai embel-embel nama “am Main“, kota Landau yang dijadikan tempat perburuan foto kali ini pun mesti diberi embel-embel  tambahan “in der Pfalz“, karena ada sebuah kota Landau yang lain di Jerman, yaitu Landau an der Isar.

Landau in der Pfalz merupakan kota terbesar ketiga di Pfalz. Pfalz sendiri adalah nama sebuah regio yang terletak di bagian selatan negara bagian Rheinland-Pfalz. Terletak di südliche Weinstraße (jalur anggur selatan), kota ini merupakan daerah irisan Semesterticket KVV (Karlsruher Verkehrsverbund) dan VRN (Verkehrsverbund Rhein-Neckar). Dengan demikian, diharapkan akan ada semakin banyak peserta yang berminat untuk mengikuti kegiatan baru dari KMKI MWD ini karena tidak perlu mengeluarkan biaya transportasi (hanya KMKI Hessen yang perlu membeli tiket).
-->

***

Sudah ketemu jawabannya? Lho Kak, lagi asyik-asyik bertualang ke negeri Jerman koq ditanya jawaban pertanyaan Cak Lontong lagi? Iya Dek, karena sekali lagi jawabannya berhubungan dengan tulisan di atas.

Jawaban yang benar adalah.. tet teret teret.. "MoveOn". Sebuah kata yang harus kurefleksikan di malam hari ini. Apakah aku sudah benar-benar move on dari cara hidupku yang lama? Hmm, setidaknya aku belajar banyak dari Cak Lontong hari ini: seorang kiper itu tidak suka melihat ke belakang karena tahu di depannya ia harus menjaga gawangnya dengan baik untuk menghadapi penyerang-penyerang dari kesebelasan lawan..

Jadi, Buffon aja move on, Bang KIP nggak mau ikutan move on nih?
 
.. pengen baca kelanjutan kisah perburuan foto di Landau in der Pfalz? Yuk yuk yuk mari di mari baca artikelnya di sini:

Tangerang, 22 Mei 2018


der gruene Baum

Senin, 14 Mei 2018

Orang Jateng bisa Membuat SIM Banten di Kab Tangerang? (Bagian 3/3 Final)

24-4-2018

Hari itu hari Selasa. Sebelum aku kembali melanjutkan kisah pembuatan SIM di Tanah Jawara Banten ini, aku ingin menyisipkan cerita kejadian tilang yang juga kualami di Kabupaten Tangerang ini, yang terjadi ketika aku mengendarai mobil pulang dari Kota Cilegon. 

***

Pembaca yang berasal dari Kecamatan Cikupa dan sekitarnya pasti tahu bahwa di dekat sini terdapat pertigaan yang angker bagi pengendara mobil.. ya betul Lampu Merah Pertigaan Tigaraksa! Adanya pos polisi dan halte angkutan umum yang terdapat di pertigaan ini seakan-akan menjadi spot yang ideal bagi polisi lalu lintas untuk mengadili pengendara mobil yang "kurang berhati-hati dan waspada" dalam berlalu lintas. "Pelanggaran lalu lintas apa sih yang kakak langgar?" Jawabannya klasik: Menerjang lampu merah.

Tentu aku tidak dengan secara sengaja menerjang lampu merah itu. Hanya sebuah perkara lampu hijau yang pelan-pelan berpindah ke warna kuning-lah yang membuat jiwa mudaku merasa gemezzz untuk tetap melaju sambil berguman "mung kacek sithik". Ketika melintasi lampu itu, mataku benar-benar masih melihat bahwa lampu itu sedang berpindah dari warna hijau ke warna kuning.. tetapi kami pengendara mobil memang tengah ditunggu oleh seorang polisi yang berdiri di tengah-tengah jalan itu. Tidak ada mobil berikutnya yang menyusul mengikutiku melintasi lampu itu. Itu berarti - sebagai mobil terakhir - sudah menjadi hal yang naas bagiku untuk memperoleh surat tilang berwarna biru itu.

"Tilang SIM atau STNK?", tanya Pak Polisi kepadaku.
Tanpa berpikir panjang, aku pun segera memilih STNK, mengingat SIM yang kubawa di hari itu sebenarnya masa berlakunya sudah habis. Aku beruntung karena Pak Polisi tadi tidak menyadari hal itu. Seandainya ia menyadari, mungkin aku akan menerima 2 surat tilang sekaligus di hari itu: Pelanggaran Menerjang Lampu Merah dan Tidak Mempunyai SIM.. Tampaknya Dewi Fortuna masih berpihak padaku di hari itu. Aku diminta untuk membayar uang tilang dan mengambil STNK itu di Kejaksaan pada hari Selasa, 24 April 2018 jam 10 pagi.

***

Maka jadilah aku mempunyai 2 agenda di hari Selasa itu: Melanjutkan Pembuatan SIM dan Mengambil STNK yang Ditilang. Usai meminta izin kepada atasanku, akupun berangkat ke Kawasan Pemda Tigaraksa. Tujuan pertamaku adalah Bank BRI yang ada di Kampung Gudang Tigaraksa. Aku membayar Rp 500.000,- ke sana sebagai uang tilang. Sigh, di tanggal yang ranum aku harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar, jumlah uang yang cukup untuk menghidupiku di minggu terakhirku di bulan April.. Untungnya, aku masih ingat dengan nasihat Rizal, teman seperjuanganku sebagai pegiat literasi di sebuah TBM yang terletak di Perum Citra Raya: "Anggap aja ber-shodaqoh kepada negara". Nasihat itu begitu menentramkan kalbu dan memantapkan diriku untuk mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur yang memang ditetapkan oleh pihak kepolisian. Tidak melakukan salam tempel, ikut sidang, semoga berkah!

Aku pun kemudian beranjak ke Satlantas untuk melanjutkan pembuatan SIM terlebih dahulu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 08:45. Sidang pengambilan STNK baru akan dilaksanakan pukul 10:00. Sesampai di Satlantas, sesuai arahan Pak Polisi di Pos 5 hari Sabtu lalu, aku langsung bergerak menuju pos itu. Aku disambut ramah oleh Pak Polisi, beliau memintaku untuk menunggu sebentar di kursi depan sambil beliau mencari berkas dokumen kepunyaanku. Aku pun duduk di kursi di depan pos itu, sambil menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan - sebuah ritual untuk membuat diri merasa rileks. Perlahan-perlahan kugerakkan bola mataku untuk memandangi suasana kantor polisi di hari kerja. Suasananya sangat sepi, hanya 2 - 3 orang yang kulihat sedang mengurus SIM sepertiku. "Oh, begini toh rupa-rupanya pemandangan kantor polisi di hari kerja, sepi juga ya kerjanya bisa nyantai..", pikirku dalam hati.

"Saudara Kristanto". Pak Polisi menyebutkan namaku. "Ayo kita ke lapangan untuk ujian praktik", sambungnya. It's the showtime, waktunya telah tiba. Aku pun berjalan di samping Pak Polisi tadi sambil mengajak bercakap-cakap ringan - lagi-lagi sebuah cara yang kulakukan untuk mengurangi ketegangan menjelang ujian praktik. Hari itu sedikit gerimis, Pak Polisi pun menanyakan kepadaku apakah aku mau menunggu dulu atau mau lanjut saja. "Lanjut, Pak", jawabku mantap mengingat aku sendiri sebenarnya sedang ditunggu oleh bos dan timku di kantor. Pak Polisi itu pun membawaku ke lapangan, menunjukkan kepadaku sebuah mobil Avanza yang nantinya digunakan untuk ujian. Beliau kemudian mengajakku untuk menuju tempat ujian praktik, yang lokasinya hanya berjarak 20 meter dari tempat diparkirnya mobil ujian praktik itu.

"Jadi begini ya, saya jelaskan dulu aturan mainnya", kata Pak Polisi itu ramah. Ujian praktik yang pertama: aku diminta untuk mengendarai mobil keluar dari parkiran, belok ke kiri dan mengendarai mobil itu di jalan tanjakan dan berhenti di situ. Ujian berikutnya adalah bagaimana aku dapat melanjutkan mengendarai mobil di tanjakan itu tanpa mobil bergerak mundur. Ini adalah seni berkendara yang menurutku mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi, tetapi memang wajib dikuasai demi keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan yang lain ketika berkendara. Ujian praktik yang kedua: Setelah mobil lanjut bergerak di tanjakan, aku kembali diminta untuk menghentikan laju mobil sejenak di jalan turunan. Usai berhenti, mobil harus dikendarai kembali, sekali lagi belok ke kiri, dan diparkir di area parkir yang telah ditentukan. Titik kesulitan di ujian yang kedua ini, menurutku ada di bagian di mana aku harus memarkirkan mobil tanpa mengenai batas patok yang telah ditetapkan oleh Pak Polisi tersebut.

.. dan dimulailah ujian praktik itu!

Setelah kukenakan safety belt, kukendarai mobil ujian praktik itu dengan hati-hati, mengingat aku harus bersahabat terlebih dahulu dengan level ketinggian koplingnya. Ah, kopling mobil ini ternyata cukup tinggi, sangat signifikan bedanya dengan mobil balap yang aku kendarai sehari-hari. Ya, dengan level ketinggian kopling yang rendah, seseorang akan lebih cepat memindahkan transmisi kecepatannya, khususnya ketika start mengakselerasi mobil. Sudah menjadi kebiasaanku dalam berlalu lintas untuk menyalakan lampu sen sebelum berbelok. Ini pun kulakukan secara otomatis ketika aku menjalani ujian praktik ini.

Akhirnya pun tiba saat di mana aku menghadapi tanjakan itu. Hand rem dan kulanjutkan lajuku menaiki tanjakan itu. Mengingat level ketinggian kopling cukup tinggi, aku yang merasa sedikit panik pun secara refleks menginjak tuas gas cukup dalam sehingga menimbulkan suara mesin cukup keras. Aku cukup berhasil, tetapi tampaknya Pak Polisi tidak begitu happy mendengar suara mesin yang kasar itu. Ujian berikutnya: memarkir mobil. Torsi mobil yang biasa kukendarai sangat berbeda dengan torsi mobil Avanza ini. Aku yang merasa cukup gugup pun sempat mengambil ancang-ancang mundur yang terlalu mepet, sehingga aku harus bergerak maju sekali lagi sebelum memundurkan mobil itu masuk ke tempat parkirnya. Aku berhasil. Aku pribadi memberikan skor 75 kepada diriku di hari itu, harusnya masih bisa lulus.

Pak Polisi itu - entah karena ingin mempersulitku atau sekedar menghabiskan waktu kerjanya sedikit lebih lama lagi bersamaku - memintaku untuk mengulang serangkaian ujian praktik itu sekali lagi. "Suara mobil di tanjakan masih kasar dan parkir mobil belum bisa 1x jadi", begitu jelasnya kepadaku.

Singkat cerita, aku yang sudah lebih menguasai bagaimana mengendarai mobil Avanza dan mempunyai rasa percaya diri yang lebih pun berhasil perform lebih bagus di kesempatan kedua yang beliau tawarkan itu. Aku tak mengalami kesulitan yang berarti saat parkir di kesempatan kedua, mengingat hari Senin lalu aku baru saja memarkirkan mobil dengan posisi yang lebih sulit di gedung parkir tempatku bekerja. Bedanya hanya di soal torsi mobil, dan kali ini aku sudah lebih tahu keterbatasan torsi mobil ini. Setelah kuparkirkan mobil dengan sempurna, Pak Polisi itu pun mengulurkan tangannya dan menyelamatiku. "Selamat ya, Mas. Ujian SIM itu tidak susah 'kan?", tanyanya retoris. Beliau seakan memintaku untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas bahwa pembuatan SIM dengan jalur ujian itu machtbar, bukanlah "bikin SIM yang harus nembak karena ujiannya sangat sulit" seperti desas-desus yang ada..

Wah, ternyata aku sudah menulis cukup panjang. Pun malam ketika aku menuliskan artikel ini sudah semakin larut. Dear pembaca, tanpa bermaksud mengurangi keasyikan kalian ketika sedang tenggelam membaca tulisan ini (sok banget, pede amat kalau tulisannya bisa bikin orang tenggelam), izinkan penulis untuk kembali menggunakan otak kirinya ya :D
1. Sistem pembuatan SIM hari itu sedang offline. Proses pencetakan SIM-nya harus menunggu.
2. Kesempatan menunggu kugunakan untuk pergi ke Kejaksaan untuk mengambil STNK. Jam 10 pagi. Ini pengalaman pertamaku. Aku memasukkan surat tilang, memesan kopi di warung sambil menunggu panggilan. Seperti observasiku sebelumnya, ada banyak Kaizen Idea yang bisa didapat dengan melihat kekurangefektifan ini. Secara mengejutkan aku mendapatkan panggilan jam 11 siang. STNK kuperoleh, bersama secarik surat yang menyebutkan bahwa denda tilang itu hanya Rp 150.000,-. Aku bisa mengambil kembali sisa uang yang telah kubayarkan tadi di Bank BRI. Senangnya hatiku, ini artinya tidak ada ancaman yang berarti untuk berat badanku di akhir bulan ini.
3. Aku kembali ke Satlantas. Sistem masih saja offline. Kutanyakan kemungkinan untuk datang kembali sore hari, selepas kerja. Bosku sudah menunggu. Bapak-bapak Polisi itu menyanggupi.
4. Jam 13 aku dikabari kalau SIM-ku sudah jadi. Jam 17:15 aku kembali meluncur ke Satlantas. Kutanyakan SIM-ku di Posko. Kudapatkan SIM itu, dan betapa bangganya diriku melihat bahwa Orang Jateng yang satu ini kini telah memiliki SIM A terbitan Banten, dengan tanda tangan Bapak M. Sabilul Alif, Kapolresta Tangerang yang juga menjadi junjunganku di dunia literasi..

Ya betul, beliau adalah juga seorang penulis..

Summary:
--> Kab. Tangerang telah menjadi contoh untuk Propinsi Banten ini dalam hal praktik anti-korupsi dalam kasus tilang dan pembuatan SIM
--> Biaya pembuatan SIM A hanya ~Rp 180.000,- (tahun 2018). Aku mendengar gosip bahwa SIM Nembak biayanya Rp 550.000,- (3x lipat)
--> Jujur saja, SIM pertamaku di Jawa Tengah kudapatkan dengan cara nembak.. . Betapa bangganya aku sebagai orang Jawa Tengah boleh memiliki SIM Banten, lebih-lebih dengan cara ujian

Semoga tulisan ini dapat memberikan informasi dan sedikit menginspirasi..


PS: Otak kiriku ternyata sudah tidak pure otak kiri lagi ya.. aku tidak bisa menulis secara singkat, padat, dan jelas lagi.. Apakah ini efek samping dari membaca buku-buku nonfiksi?

Tangerang, 14 Mei 2018


der Gruene Baum

Kamis, 03 Mei 2018

Orang Jateng Bisa Membuat SIM Banten di Kab Tangerang? (Bagian 2/ 3)

..

Mulanya aku sempat bingung karena Pos 4 Ujian Teori tidak mempunyai loket seperti di pos-pos sebelumnya. Hanya ada sebilah pintu di hadapanku dan tak ada tanda-tanda pintu itu akan dibuka secara berkala. Meski hanya sedikit, aku sempat merasa ngeri. Ngeri kenapa aku mengurus SIM sendiri di tanah perantauan ini. Aku tak tahu ke mana aku harus bertanya: tidak ada petugas yang menggunakan baju seragam, aku tidak bisa membedakan yang mana petugas dan yang mana orang awam sepertiku. Satu dua kali aku sempat bertanya, akan tetapi jawaban yang aku dapatkan tidaklah pasti. Semuanya simpang siur.

Perlahan mulai terbersit dalam pikiranku, kepengurusan SIM yang kurang jelas ini, jangan-jangan memang ada unsur kesengajaan, mengingat propinsi ini termasuk salah satu propinsi dengan peringkat korupsi tertinggi di Indonesia.

"Panggilan kepada Bapak Indrayana, Bapak Kristanto.., ", tiba-tiba terdengar suara yang memecah pergumulan batinku. Uh, sialnya aku tidak mendengarkan panggilan itu sampai selesai. Aku hanya bergerak masuk ke dalam sebuah ruangan yang dimasuki orang sesaat setelah diumumkannya panggilan itu. Sebelum aku masuk, aku sempat membaca nama ruangan itu: Pos 6 Foto dan Rekam Sidik Jari. Ruangan itu cukup ramai: ada orang yang menunggu sambil duduk, ada pula orang yang menunggu sambil berdiri. Ada 2 meja kerja yang terdapat di ruangan itu. Aku kembali bertanya di dalam hati, "Apakah benar aku dipanggil masuk ke sini? Kenapa dari Pos 3 aku langsung dipanggil ke Pos 6? Di meja kerja manakah aku harus mengantri?".

Satu per satu nama orang dipanggil di ruangan itu untuk difoto dan direkam sidik jarinya. Aku, bersama puluhan orang di ruangan itu pun tampak berkonsentrasi menunggu datangnya panggilan kedua itu. Dua puluh menit menunggu, namaku belum juga disebut oleh petugas yang ada di kedua meja kerja itu. Pikiranku kembali mengajak diriku berdialog: "Kami seperti sedang berada di sebuah penjara, di mana panggilan dari petugas artinya adalah kami akan diselamatkan". Pertanyaannya tinggal, apakah nama kami benar-benar akan dipanggil petugas tersebut? Aku sempat gugup melihat bahwa petugas-petugas itu memegang setumpukan berkas-berkas - yang aku tidak tahu apakah itu dari Pos 3 Penyerahan Berkas, Pos 4 Ujian Teori, atau Pos 5 Ujian Praktik -. Orang keluar masuk silih berganti terus menerus memberikan tambahan berkas kepada kedua petugas itu. Yang menjadi pertanyaanku: Bagaimana seandainya berkasku jatuh? Bagaimana seandainya berkasku dilewati terus oleh petugas, tenggelam ketika banyak berkas baru yang ia terima dari orang-orang yang hilir mudik tadi? Berbekal ilmu dan pengalaman yang kudapatkan di perusahaan tempatku bekerja, mengamati ketidakefektifan ini rasa-rasanya aku akan sanggup membuat lusinan PDCA dari mekanisme pembuatan SIM tanpa masalah yang berarti. Dan inilah salah satu alasanku menulis artikel ini: untuk mengabadikan current state-nya. Apakah pembaca bisa membantu memikirkan future state-nya? :)

.. dan aku pun tiba-tiba melihat berkasku! Secara kebetulan, ia tertumpuk pada bagian paling atas! Aku pun mengikuti ke arah mana saja berkas itu akan dibawa - dari petugas di meja 1 ke petugas di meja 2. Namaku sempat dipanggil lagi oleh petugas di meja 2 untuk memasuki ruangan. Aku pun hanya tersenyum terheran-heran, karena sudah dari tadi aku memasuki ruangan ini. Ini tidak efektif. Aku pun harus menunggu sejenak lagi sampai semua nama dalam berkas itu sudah disebutkan namanya oleh petugas. Akhirnya, datang juga saat yang ditunggu-tunggu. Namaku dipanggil dan aku - dengan gaya menirukan anak anjing yang melihat tulang - dengan patuh segera mengikuti segala instruksi untuk foto dan rekam sidik jari. AKHIRNYA!

Sebelum meninggalkan meja petugas di Pos 6 itu, aku kembali bertanya ke pos mana aku harus menuju setelah ini. Petugas itu kembali menyebutkan Pos 4. Aku pun kembali bertanya-tanya dalam hati. Ah, aku ini sudah dari pos 6, sudah difoto dan direkam sidik jari, kenapa diminta kembali ke pos 4 untuk ujian teori? Mungkin aku tidak akan mengajukan pertanyaan seperti itu, seandainya ada sedikit kejelasan di Pos 4. Sekali lagi, aku hanya bisa melihat sebilah pintu yang tertutup di sana, bertuliskan jadwal tes yang hanya dimulai 1 jam sekali. Waktu menunjukkan pukul 10:35. Apakah benar aku harus menunggu sampai jam 11, dan pintu itu akan terbuka sesuai jadwalnya? Atau apakah aku, mendapatkan hak privilege untuk memperoleh SIM tanpa ujian, sehingga sudah diizinkan masuk ke pos foto? Ini karena memang aku bukan mengajukan SIM untuk yang pertama kalinya.. Sungguh, aku tidak tahu di pos mana aku seharusnya memposisikan diriku untuk menunggu. Pos 7 ada di lorong depan sana, tempat orang-orang mengambil SIM mereka. Apakah setelah foto, aku tinggal menunggu di depan seperti mereka?

Sedikit intermezzo. Pojok baca di seberang pos 4 ini sudah menjadi tempat incaranku untuk menunggu dalam proses pembuatan SIM. Hanya saja, aku khawatir apabila aku sudah tenggelam dalam membaca buku, aku bisa saja melewatkan panggilan dari pos selanjutnya.. Sebuah panggilan yang menyelamatkan jiwa kami dari penjara ketidakpastian ini :)

Alhasil, kata-kata Bung Hatta ini pun, tidak dapat aku implementasi dalam kasus pengurusan SIM ini. Aku rasa-rasanya tidak akan bebas apabila aku di penjara bersama buku di tempat ini. Satu-satunya yang bisa membebaskanku hanyalah sebuah panggilan nama yang cukup random tadi, baik secara nama, pos maupun timing :D

Menunggu panggilan di depan pintu pos 4 sampai lewat jam 11 membuatku cukup yakin bahwa pos 4 ini kemungkinan besar hari ini ditiadakan, karena pintu itu tidak sekalipun terbuka. Mungkin orang yang mengajukan SIM hari ini memang yang sedang memperpanjang SIM semua, sehingga tidak membutuhkan syarat ujian lagi. Aku pun beranjak dari tempat duduk dan bergerak untuk menunggu di Pos 7: Pos Pengambilan SIM. Memakai ilmu cocokologi dalam mengambil kesimpulan: kalau aku sudah difoto dan direkam sidik jari di pos 6, bukankah itu artinya aku tinggal menuju pos 7?

Adapun pos 4 merupakan pos ujian teori dan pos 5 adalah ujian praktik. Pintu pos 5 berada di samping pintu belakang pos 4. Aku bisa melihat kedua pos pintu itu ketika aku menunggu di ruang tunggu pos 7. Senyum nyinyir terpancar dari wajahku ketika aku justru mendapat panggilan dari pintu belakang pos 4.. Ujian Teori! Ternyata aku memang harus mengikuti ujian teori terlebih dahulu. Aku pun memasuki ruangan itu. Ketegangan sempat kurasakan. "Jangan-jangan aku tidak lulus, atau kalau aku lulus pun, SIM ku tidak akan bisa jadi hari ini karena lembar jawabnya tidak mungkin dikoreksi dalam waktu sebentar..", gumamku dalam hati. Oleh petugas berseragam polisi itu, aku dipandu untuk duduk di depan sebuah komputer, tempat di mana aku harus mengerjakan soal-soal ujian teori itu. Ahaaa, ilmu baru..! Ternyata ujian teori dalam proses pembuatan SIM itu sudah  computer-based. Ini artinya, kemungkinan besar hasil ujian akan bisa langsung diketahui di detik aku melakukan submit jawaban. Setelah mengisi identitas dan menjawab beberapa kuesioner awal, soal-soal ujian praktik pun muncul.

Kami hanya diberi waktu 15 menit untuk menyelesaikan 30 soal yang berbentuk pilihan ganda. Di sini, aku tidak mau berkomentar lebih jauh terkait soal-soalnya, takut kalau dikira memberi bocoran soal hehehe.. Benar saja, setelah submit, aku pun segera mendapatkan pemberitahuan skor yang aku peroleh. Bersamaan dengan itu, aku melihat secarik kertas print out yang keluar dari printer komputer dari petugas pengawas yang ada di depan. Aku dinyatakan LULUS! "Yeaaay, tidak ada halangan dari ujian teori, akhirnya aku akan bisa memperoleh SIM hari ini". Demikian kataku dalam hati. Aku pun segera keluar pos 4 melalui pintu belakang untuk selanjutnya menuju ke Pos 5: Ujian Praktik.

Sedikit dag-dig-dug tentunya, karena aku sempat mendengar bahwa banyak orang tidak lulus ujian SIM karena ujian praktiknya. Kita diminta untuk jalan maju membuat angka 8 ataupun diminta jalan mundur secara zig-zag. Dan ternyata.. - sebelum aku sempat berpikiran macam-macam - petugas pos 5 menyebutkan, "Kami mohon maaf, jalan di depan sedang diaspal. Sekali lagi maaf, apakah Bapak bisa kembali ke sini hari Selasa? Bapak bisa langsung ke sini, tinggal membawa kertas hasil ujian teori ini saja, tidak perlu mengantri di depan di pos-pos sebelumnya lagi". Aku kemudian melihat jam dinding. Waktu memang telah menunjukkan jam 12 kurang 5. Aku sudah punya janji dengan teman-temanku jam 13. Mungkin memang belum rezekiku untuk bisa mendapatkan SIM hari Sabtu ini.. 

..atau mungkin aku memang diberi kesempatan untuk latihan menyetir lagi..
ke Rumah Dunia Serang untuk berjumpa dengan Mbak Nana Najwa Shihab!

Salam Literasi..! 

.. (bersambung)