Hari itu hari Selasa. Sebelum aku kembali melanjutkan kisah pembuatan SIM di Tanah Jawara Banten ini, aku ingin menyisipkan cerita kejadian tilang yang juga kualami di Kabupaten Tangerang ini, yang terjadi ketika aku mengendarai mobil pulang dari Kota Cilegon.
***
Pembaca yang berasal dari Kecamatan Cikupa dan sekitarnya pasti tahu bahwa di dekat sini terdapat pertigaan yang angker bagi pengendara mobil.. ya betul Lampu Merah Pertigaan Tigaraksa! Adanya pos polisi dan halte angkutan umum yang terdapat di pertigaan ini seakan-akan menjadi spot yang ideal bagi polisi lalu lintas untuk mengadili pengendara mobil yang "kurang berhati-hati dan waspada" dalam berlalu lintas. "Pelanggaran lalu lintas apa sih yang kakak langgar?" Jawabannya klasik: Menerjang lampu merah.
Tentu aku tidak dengan secara sengaja menerjang lampu merah itu. Hanya sebuah perkara lampu hijau yang pelan-pelan berpindah ke warna kuning-lah yang membuat jiwa mudaku merasa gemezzz untuk tetap melaju sambil berguman "mung kacek sithik". Ketika melintasi lampu itu, mataku benar-benar masih melihat bahwa lampu itu sedang berpindah dari warna hijau ke warna kuning.. tetapi kami pengendara mobil memang tengah ditunggu oleh seorang polisi yang berdiri di tengah-tengah jalan itu. Tidak ada mobil berikutnya yang menyusul mengikutiku melintasi lampu itu. Itu berarti - sebagai mobil terakhir - sudah menjadi hal yang naas bagiku untuk memperoleh surat tilang berwarna biru itu.
"Tilang SIM atau STNK?", tanya Pak Polisi kepadaku.
Tanpa berpikir panjang, aku pun segera memilih STNK, mengingat SIM yang kubawa di hari itu sebenarnya masa berlakunya sudah habis. Aku beruntung karena Pak Polisi tadi tidak menyadari hal itu. Seandainya ia menyadari, mungkin aku akan menerima 2 surat tilang sekaligus di hari itu: Pelanggaran Menerjang Lampu Merah dan Tidak Mempunyai SIM.. Tampaknya Dewi Fortuna masih berpihak padaku di hari itu. Aku diminta untuk membayar uang tilang dan mengambil STNK itu di Kejaksaan pada hari Selasa, 24 April 2018 jam 10 pagi.
***
Maka jadilah aku mempunyai 2 agenda di hari Selasa itu: Melanjutkan Pembuatan SIM dan Mengambil STNK yang Ditilang. Usai meminta izin kepada atasanku, akupun berangkat ke Kawasan Pemda Tigaraksa. Tujuan pertamaku adalah Bank BRI yang ada di Kampung Gudang Tigaraksa. Aku membayar Rp 500.000,- ke sana sebagai uang tilang. Sigh, di tanggal yang ranum aku harus mengeluarkan sejumlah uang yang cukup besar, jumlah uang yang cukup untuk menghidupiku di minggu terakhirku di bulan April.. Untungnya, aku masih ingat dengan nasihat Rizal, teman seperjuanganku sebagai pegiat literasi di sebuah TBM yang terletak di Perum Citra Raya: "Anggap aja ber-shodaqoh kepada negara". Nasihat itu begitu menentramkan kalbu dan memantapkan diriku untuk mengurus segala sesuatunya sesuai prosedur yang memang ditetapkan oleh pihak kepolisian. Tidak melakukan salam tempel, ikut sidang, semoga berkah!
Aku pun kemudian beranjak ke Satlantas untuk melanjutkan pembuatan SIM terlebih dahulu, mengingat waktu masih menunjukkan pukul 08:45. Sidang pengambilan STNK baru akan dilaksanakan pukul 10:00. Sesampai di Satlantas, sesuai arahan Pak Polisi di Pos 5 hari Sabtu lalu, aku langsung bergerak menuju pos itu. Aku disambut ramah oleh Pak Polisi, beliau memintaku untuk menunggu sebentar di kursi depan sambil beliau mencari berkas dokumen kepunyaanku. Aku pun duduk di kursi di depan pos itu, sambil menarik napas panjang dan melepaskannya perlahan - sebuah ritual untuk membuat diri merasa rileks. Perlahan-perlahan kugerakkan bola mataku untuk memandangi suasana kantor polisi di hari kerja. Suasananya sangat sepi, hanya 2 - 3 orang yang kulihat sedang mengurus SIM sepertiku. "Oh, begini toh rupa-rupanya pemandangan kantor polisi di hari kerja, sepi juga ya kerjanya bisa nyantai..", pikirku dalam hati.
"Saudara Kristanto". Pak Polisi menyebutkan namaku. "Ayo kita ke lapangan untuk ujian praktik", sambungnya. It's the showtime, waktunya telah tiba. Aku pun berjalan di samping Pak Polisi tadi sambil mengajak bercakap-cakap ringan - lagi-lagi sebuah cara yang kulakukan untuk mengurangi ketegangan menjelang ujian praktik. Hari itu sedikit gerimis, Pak Polisi pun menanyakan kepadaku apakah aku mau menunggu dulu atau mau lanjut saja. "Lanjut, Pak", jawabku mantap mengingat aku sendiri sebenarnya sedang ditunggu oleh bos dan timku di kantor. Pak Polisi itu pun membawaku ke lapangan, menunjukkan kepadaku sebuah mobil Avanza yang nantinya digunakan untuk ujian. Beliau kemudian mengajakku untuk menuju tempat ujian praktik, yang lokasinya hanya berjarak 20 meter dari tempat diparkirnya mobil ujian praktik itu.
"Jadi begini ya, saya jelaskan dulu aturan mainnya", kata Pak Polisi itu ramah. Ujian praktik yang pertama: aku diminta untuk mengendarai mobil keluar dari parkiran, belok ke kiri dan mengendarai mobil itu di jalan tanjakan dan berhenti di situ. Ujian berikutnya adalah bagaimana aku dapat melanjutkan mengendarai mobil di tanjakan itu tanpa mobil bergerak mundur. Ini adalah seni berkendara yang menurutku mempunyai tingkat kesulitan yang cukup tinggi, tetapi memang wajib dikuasai demi keselamatan diri sendiri dan pengguna jalan yang lain ketika berkendara. Ujian praktik yang kedua: Setelah mobil lanjut bergerak di tanjakan, aku kembali diminta untuk menghentikan laju mobil sejenak di jalan turunan. Usai berhenti, mobil harus dikendarai kembali, sekali lagi belok ke kiri, dan diparkir di area parkir yang telah ditentukan. Titik kesulitan di ujian yang kedua ini, menurutku ada di bagian di mana aku harus memarkirkan mobil tanpa mengenai batas patok yang telah ditetapkan oleh Pak Polisi tersebut.
.. dan dimulailah ujian praktik itu!
Setelah kukenakan safety belt, kukendarai mobil ujian praktik itu dengan hati-hati, mengingat aku harus bersahabat terlebih dahulu dengan level ketinggian koplingnya. Ah, kopling mobil ini ternyata cukup tinggi, sangat signifikan bedanya dengan mobil balap yang aku kendarai sehari-hari. Ya, dengan level ketinggian kopling yang rendah, seseorang akan lebih cepat memindahkan transmisi kecepatannya, khususnya ketika start mengakselerasi mobil. Sudah menjadi kebiasaanku dalam berlalu lintas untuk menyalakan lampu sen sebelum berbelok. Ini pun kulakukan secara otomatis ketika aku menjalani ujian praktik ini.
Akhirnya pun tiba saat di mana aku menghadapi tanjakan itu. Hand rem dan kulanjutkan lajuku menaiki tanjakan itu. Mengingat level ketinggian kopling cukup tinggi, aku yang merasa sedikit panik pun secara refleks menginjak tuas gas cukup dalam sehingga menimbulkan suara mesin cukup keras. Aku cukup berhasil, tetapi tampaknya Pak Polisi tidak begitu happy mendengar suara mesin yang kasar itu. Ujian berikutnya: memarkir mobil. Torsi mobil yang biasa kukendarai sangat berbeda dengan torsi mobil Avanza ini. Aku yang merasa cukup gugup pun sempat mengambil ancang-ancang mundur yang terlalu mepet, sehingga aku harus bergerak maju sekali lagi sebelum memundurkan mobil itu masuk ke tempat parkirnya. Aku berhasil. Aku pribadi memberikan skor 75 kepada diriku di hari itu, harusnya masih bisa lulus.
Pak Polisi itu - entah karena ingin mempersulitku atau sekedar menghabiskan waktu kerjanya sedikit lebih lama lagi bersamaku - memintaku untuk mengulang serangkaian ujian praktik itu sekali lagi. "Suara mobil di tanjakan masih kasar dan parkir mobil belum bisa 1x jadi", begitu jelasnya kepadaku.
Singkat cerita, aku yang sudah lebih menguasai bagaimana mengendarai mobil Avanza dan mempunyai rasa percaya diri yang lebih pun berhasil perform lebih bagus di kesempatan kedua yang beliau tawarkan itu. Aku tak mengalami kesulitan yang berarti saat parkir di kesempatan kedua, mengingat hari Senin lalu aku baru saja memarkirkan mobil dengan posisi yang lebih sulit di gedung parkir tempatku bekerja. Bedanya hanya di soal torsi mobil, dan kali ini aku sudah lebih tahu keterbatasan torsi mobil ini. Setelah kuparkirkan mobil dengan sempurna, Pak Polisi itu pun mengulurkan tangannya dan menyelamatiku. "Selamat ya, Mas. Ujian SIM itu tidak susah 'kan?", tanyanya retoris. Beliau seakan memintaku untuk menyebarkan informasi kepada khalayak luas bahwa pembuatan SIM dengan jalur ujian itu machtbar, bukanlah "bikin SIM yang harus nembak karena ujiannya sangat sulit" seperti desas-desus yang ada..
Wah, ternyata aku sudah menulis cukup panjang. Pun malam ketika aku menuliskan artikel ini sudah semakin larut. Dear pembaca, tanpa bermaksud mengurangi keasyikan kalian ketika sedang tenggelam membaca tulisan ini (sok banget, pede amat kalau tulisannya bisa bikin orang tenggelam), izinkan penulis untuk kembali menggunakan otak kirinya ya :D
1. Sistem pembuatan SIM hari itu sedang offline. Proses pencetakan SIM-nya harus menunggu.
2. Kesempatan menunggu kugunakan untuk pergi ke Kejaksaan untuk mengambil STNK. Jam 10 pagi. Ini pengalaman pertamaku. Aku memasukkan surat tilang, memesan kopi di warung sambil menunggu panggilan. Seperti observasiku sebelumnya, ada banyak Kaizen Idea yang bisa didapat dengan melihat kekurangefektifan ini. Secara mengejutkan aku mendapatkan panggilan jam 11 siang. STNK kuperoleh, bersama secarik surat yang menyebutkan bahwa denda tilang itu hanya Rp 150.000,-. Aku bisa mengambil kembali sisa uang yang telah kubayarkan tadi di Bank BRI. Senangnya hatiku, ini artinya tidak ada ancaman yang berarti untuk berat badanku di akhir bulan ini.
3. Aku kembali ke Satlantas. Sistem masih saja offline. Kutanyakan kemungkinan untuk datang kembali sore hari, selepas kerja. Bosku sudah menunggu. Bapak-bapak Polisi itu menyanggupi.
4. Jam 13 aku dikabari kalau SIM-ku sudah jadi. Jam 17:15 aku kembali meluncur ke Satlantas. Kutanyakan SIM-ku di Posko. Kudapatkan SIM itu, dan betapa bangganya diriku melihat bahwa Orang Jateng yang satu ini kini telah memiliki SIM A terbitan Banten, dengan tanda tangan Bapak M. Sabilul Alif, Kapolresta Tangerang yang juga menjadi junjunganku di dunia literasi..
Ya betul, beliau adalah juga seorang penulis..
Summary:
--> Kab. Tangerang telah menjadi contoh untuk Propinsi Banten ini dalam hal praktik anti-korupsi dalam kasus tilang dan pembuatan SIM
--> Biaya pembuatan SIM A hanya ~Rp 180.000,- (tahun 2018). Aku mendengar gosip bahwa SIM Nembak biayanya Rp 550.000,- (3x lipat)
--> Jujur saja, SIM pertamaku di Jawa Tengah kudapatkan dengan cara nembak.. . Betapa bangganya aku sebagai orang Jawa Tengah boleh memiliki SIM Banten, lebih-lebih dengan cara ujian
PS: Otak kiriku ternyata sudah tidak pure otak kiri lagi ya.. aku tidak bisa menulis secara singkat, padat, dan jelas lagi.. Apakah ini efek samping dari membaca buku-buku nonfiksi?
Tangerang, 14 Mei 2018
der Gruene Baum
Tidak ada komentar:
Posting Komentar