19 Juni 2016
Halo, kenalkan aku Kris kelahiran tahun 1992. Aku masih sempat merasakan
kegembiraan dengan bermain petak umpet waktu aku SD. Aku memainkan permainan
ini pertama kali dengan tetangga-tetanggaku di kampung. Walaupun dalam permainan
di kampung ini aku cuman seorang anak bawang (waktu itu aku masih kelas 1 SD
sendiri), aku sekarang bisa ketawa-ketiwi sendiri apabila mengingat tempat
persembunyianku waktu itu: di balik pagar tanaman, di balik tong sampah, sampai di
dalam got (saluran air di tepi jalan) yang kering di musim kemarau.
Ketika aku naik ke kelas 3 SD, aku tidak lagi tinggal di kampung sehingga aku
tidak bisa bermain petak umpet dengan tetangga-tetanggaku lagi. Untungnya, aku
mengikuti les sempoa di sebuah perumahan dan setelah selesai les kami sering
bermain petak umpet di perumahan tersebut. Cara bermain petak umpet waktu itu
masih aku ingat betul sampai sekarang: Pertama, seseorang menyenggol punggungku
kemudian aku harus menebak apakah ia menggunakan tangan kiri atau kanan untuk
menyenggol. Tahap ini berfungsi untuk menentukan jumlah hitungan menutup mata,
apakah nantinya aku hanya menghitung sampai 30 atau harus menghitung sampai 50.
Kedua, orang tersebut akan menyenggol punggungku menggunakan jari tertentu.
Apabila aku berhasil menebak jari mana yang digunakan untuk menyenggol, aku
boleh menghitung hitungan yang sudah ditetapkan melalui tahap pertama dengan
hitungan cepat. Kalau dipikir lagi sekarang, rasa-rasanya tahapan-tahapan ini kurang
logis dan bodohnya adalah mengapa dulu aku mau mematuhi tata tertib ini tanpa
protes.
Setelah selesai menghitung, aku berbalik kemudian mencari di mana teman-temanku
bersembunyi. Karena lokasinya di perumahan, tempat persembunyian
teman-temanku cukup sulit ditebak. Ada yang bersembunyi di balik mobil yang
di parkir, ada yang bersembunyi di balik tembok rumah tetangga, dan ada pula yang
bersembunyi di dalam rumah. Hal yang menarik adalah ketika tempat persembunyian
seorang teman sudah ketahuan dengan mudahnya karena ia spontan pasti akan
mengatakan "Nas, aku belum selesai bersembunyi". Aku pun membiarkannya dan
mencari teman-temanku yang lain. Ketika aku lengah, dia pasti akan mengatakan
"Tit" sebagai tanda bahwa ia sudah kembali ke permainan dan biasanya sudah berada
lebih dekat ke tiang laporan. Akan tetapi, masih ada lho hal yang lebih menjengkelkan
daripada "Tit", yaitu "Bar". Teman yang mengatakan "Bar" otomatis tidak akan
mengikuti permainan yang selanjutnya, dan sering kali ia mengatakan seperti itu
kalau di babak tersebut ia barusan menang, sehingga aku tidak bisa membalas
dendam.
Akan tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa bahagia bermain petak umpet
Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, mengingat permainan tradisional
seperti petak umpet sebenarnya membuatku ingin ketawa-ketiwi sendiri: ketawa
dengan keputusanku waktu itu, kenapa aku ngumpet di sana atau di sini; ketawa
dengan temanku yang tidak pandai bersembunyi sehingga gampang ketahuan; dan
ketawa dengan kebodohanku kenapa mau mematuhi tata tertib permainan yang kalau
dipikir sekarang sebenarnya dipenuhi oleh aturan kurang logis (masih ingat dengan
tangan/ jari yang digunakan untuk menentukan hitungan menutup mata?). Akan
tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa
bahagia bermain petak umpet dan sekarang ini aku merasa bersyukur karena aku
masih boleh merasakan bermain petak umpet waktu aku kecil.
Bermain petak umpet telah memberikan beberapa manfaat, antara lain
membuat kita secara tidak sadar mau bergerak dan berlari, mengasah imajinasi tempat
ngumpet dan mengambil keputusan cepat mau ngumpet di mana, dan menjalin
pergaulan yang akrab dengan teman dan tetangga. Aku termasuk salah seorang yang
menyayangkan semakin hilangnya permainan tradisional seperti ini karena kehadiran
teknologi. Mungkin game-game yang ada di gadget dikatakan lebih memiliki nilai
edukasi, tetapi aku mantap bahwa permainan tradisional juga memiliki nilai edukasi
yang sebenarnya tidak kalah: 1) kekonyolan tahapan permainan dengan
menyenggolkan tangan/ jari ke punggung sebenarnya telah mengajarkan kejujuran, 2)
menghitung dengan menutup mata dari angka 1 sampai 30 atau 50 sambil ditinggal
ngumpet sebenarnya telah mengajarkan kepercayaan. Dan akhirnya, 3) dengan
berlomba lari menuju tiang laporan telah mengajarkan indahnya bila kita hidup
bersama.
Apakah itu semua tadi artinya sama, apabila kita hanya duduk asyik bermain
game dengan menatap layar gadget kita?
*Ditulis oleh Kristanto Irawan Putra
Skor tertinggi nomor 3 dalam "Sayembara Menulis Cerita Dolananku"
Tidak ada komentar:
Posting Komentar