Laman

Jumat, 21 September 2018

Aku Rindu Bermain Petak Umpet

19 Juni 2016
 
Halo, kenalkan aku Kris kelahiran tahun 1992. Aku masih sempat merasakan kegembiraan dengan bermain petak umpet waktu aku SD. Aku memainkan permainan ini pertama kali dengan tetangga-tetanggaku di kampung. Walaupun dalam permainan di kampung ini aku cuman seorang anak bawang (waktu itu aku masih kelas 1 SD sendiri), aku sekarang bisa ketawa-ketiwi sendiri apabila mengingat tempat persembunyianku waktu itu: di balik pagar tanaman, di balik tong sampah, sampai di dalam got (saluran air di tepi jalan) yang kering di musim kemarau. 

Ketika aku naik ke kelas 3 SD, aku tidak lagi tinggal di kampung sehingga aku tidak bisa bermain petak umpet dengan tetangga-tetanggaku lagi. Untungnya, aku mengikuti les sempoa di sebuah perumahan dan setelah selesai les kami sering bermain petak umpet di perumahan tersebut. Cara bermain petak umpet waktu itu masih aku ingat betul sampai sekarang: Pertama, seseorang menyenggol punggungku kemudian aku harus menebak apakah ia menggunakan tangan kiri atau kanan untuk menyenggol. Tahap ini berfungsi untuk menentukan jumlah hitungan menutup mata, apakah nantinya aku hanya menghitung sampai 30 atau harus menghitung sampai 50. Kedua, orang tersebut akan menyenggol punggungku menggunakan jari tertentu. Apabila aku berhasil menebak jari mana yang digunakan untuk menyenggol, aku boleh menghitung hitungan yang sudah ditetapkan melalui tahap pertama dengan hitungan cepat. Kalau dipikir lagi sekarang, rasa-rasanya tahapan-tahapan ini kurang logis dan bodohnya adalah mengapa dulu aku mau mematuhi tata tertib ini tanpa protes. 

Setelah selesai menghitung, aku berbalik kemudian mencari di mana teman-temanku bersembunyi. Karena lokasinya di perumahan, tempat persembunyian teman-temanku cukup sulit ditebak. Ada yang bersembunyi di balik mobil yang di parkir, ada yang bersembunyi di balik tembok rumah tetangga, dan ada pula yang bersembunyi di dalam rumah. Hal yang menarik adalah ketika tempat persembunyian seorang teman sudah ketahuan dengan mudahnya karena ia spontan pasti akan mengatakan "Nas, aku belum selesai bersembunyi". Aku pun membiarkannya dan mencari teman-temanku yang lain. Ketika aku lengah, dia pasti akan mengatakan "Tit" sebagai tanda bahwa ia sudah kembali ke permainan dan biasanya sudah berada lebih dekat ke tiang laporan. Akan tetapi, masih ada lho hal yang lebih menjengkelkan daripada "Tit", yaitu "Bar". Teman yang mengatakan "Bar" otomatis tidak akan mengikuti permainan yang selanjutnya, dan sering kali ia mengatakan seperti itu kalau di babak tersebut ia barusan menang, sehingga aku tidak bisa membalas dendam. 
Akan tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa bahagia bermain petak umpet
Seperti yang telah kusebutkan sebelumnya, mengingat permainan tradisional seperti petak umpet sebenarnya membuatku ingin ketawa-ketiwi sendiri: ketawa dengan keputusanku waktu itu, kenapa aku ngumpet di sana atau di sini; ketawa dengan temanku yang tidak pandai bersembunyi sehingga gampang ketahuan; dan ketawa dengan kebodohanku kenapa mau mematuhi tata tertib permainan yang kalau dipikir sekarang sebenarnya dipenuhi oleh aturan kurang logis (masih ingat dengan tangan/ jari yang digunakan untuk menentukan hitungan menutup mata?). Akan tetapi, di balik ketidaklogisan permainan ini, waktu itu aku benar-benar merasa bahagia bermain petak umpet dan sekarang ini aku merasa bersyukur karena aku masih boleh merasakan bermain petak umpet waktu aku kecil.
Bermain petak umpet telah memberikan beberapa manfaat, antara lain membuat kita secara tidak sadar mau bergerak dan berlari, mengasah imajinasi tempat ngumpet dan mengambil keputusan cepat mau ngumpet di mana, dan menjalin pergaulan yang akrab dengan teman dan tetangga. Aku termasuk salah seorang yang menyayangkan semakin hilangnya permainan tradisional seperti ini karena kehadiran teknologi. Mungkin game-game yang ada di gadget dikatakan lebih memiliki nilai edukasi, tetapi aku mantap bahwa permainan tradisional juga memiliki nilai edukasi yang sebenarnya tidak kalah: 1) kekonyolan tahapan permainan dengan menyenggolkan tangan/ jari ke punggung sebenarnya telah mengajarkan kejujuran, 2) menghitung dengan menutup mata dari angka 1 sampai 30 atau 50 sambil ditinggal ngumpet sebenarnya telah mengajarkan kepercayaan. Dan akhirnya, 3) dengan berlomba lari menuju tiang laporan telah mengajarkan indahnya bila kita hidup bersama. 

Apakah itu semua tadi artinya sama, apabila kita hanya duduk asyik bermain game dengan menatap layar gadget kita? 

*Ditulis oleh Kristanto Irawan Putra 
  Skor tertinggi nomor 3 dalam "Sayembara Menulis Cerita Dolananku"
 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar