Saparua? Sebuah nama GOR di Kota Bandung?
Tidak, Saparua yang sedang saya maksud adalah nama sebuah Pulau sekaligus kecamatan yang terletak di Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi Maluku. Ibukota Kabupaten Maluku Tengah adalah Kota Masohi, yang terletak di Pulau Seram. Bersama Pulau Haruku dan Pulau Nusalaut, Pulau Saparua merupakan bagian dari Kepulauan Lease, sebuah gugus kepulauan yang ditetapkan sebagai Kawasan Konservasi Perairan (KKP) melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) nomor 47 tahun 2021. Dalam Bahasa Inggris, KKP adalah MPA atau Marine Protected Area.
Salah satu keunikan Provinsi Maluku adalah penyebutan kata Negeri untuk Desa. Sebuah negeri dipimpin oleh seorang Raja, sehingga Tanah Maluku juga dikenal dengan istilah Bumi Raja-Raja. Pulau Saparua memiliki total 17 negeri. Negeri Porto, Haria, Tiouw, Saparua, Paperu, Booi, dan Kulur berada di Kecamatan Saparua; sedangkan Negeri Siri Sori Amalatu, Siri Sori Islam, Ullath, Ouw, Tuhaha, Mahu, Ihamahu, Iha, Nolloth, dan Itawaka berada di Kecamatan Saparua Timur (Jazirah Tenggara dan Jazirah Hatawano).
Pulau Saparua merupakan tanah kelahiran beberapa orang terkenal di Indonesia, seperti Petinju Ellyas Pical (Negeri Ullath), Penyanyi Bob Tutupoly (Negeri Ouw), dan Wakil Bupati Maluku Tengah Mario Lawalata (Negeri Paperu). Tak sampai di situ, Kapitan Pattimura atau Thomas Matulessy, pahlawan nasional yang diabadikan namanya menjadi nama Bandar Udara di Kota Ambon, juga berasal dari Pulau Saparua.
Dulu Pulau Saparua memiliki ekosistem padang lamun, semacam padang rumput di tepi pantai yang merupakan habitat bagi ikan duyung (Dugong dugon), salah satu spesies yang dinyatakan hampir punah di kepulauan ini. Pencemaran sampah, khususnya sampah plastik, menjadi salah satu penyebab rusaknya ekosistem padang lamun.
Perlahan tapi pasti, sampah memang akan menjadi masalah di mana-mana, tak terkecuali di pulau-pulau kecil seperti Saparua. Masuknya kemasan plastik dan popok sekali pakai ke pulau ini, menjadikan pemandangan sampah tak dapat dihindarkan dari area pantai, jalan raya, dan lingkungan permukiman warga. Beberapa warga di Saparua memang telah memiliki persepsi bahwa layanan pengelolaan sampah adalah sebuah "kebutuhan". Namun, absennya Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA) di Pulau ini membuat kebutuhan ini belum berlanjut menjadi sebuah tindakan untuk menyediakan atau mengorganisir sebuah layanan sampah. TPA hanya ada di Kota Masohi. Usulan Kepala Pemerintah Negeri dan Pendeta Gereja kepada Pemerintah Daerah sepertinya sudah dilayangkan sejak belasan tahun yang lalu. Sayangnya, sampai dengan tulisan ini ditulis, hal ini belum juga dapat terealisasi.
Rumah Sampah di Saparua
Sependek pengamatan saya, sejak beberapa tahun yang lalu Pulau Saparua sebenarnya telah memiliki tempat pengelolaan sampah atau "rumah sampah" di Negeri Itawaka, Negeri Ihamahu, dan Negeri Ouw. Dari logo dan bentuk bangunan yang dapat diamati, ketiga rumah sampah ini adalah bangunan TPS 3R yang dibangun oleh Kementerian PUPR (sekarang Kementerian PU). Sayangnya, saat ini kegiatan pengelolaan sampah di ketiga negeri ini mengalami kendala, sehingga belum bisa berjalan secara berkelanjutan. Hal ini menjadi bukti bahwa hanya 55% TPS 3R yang berstatus aktif di Indonesia. Sebanyak 35% TPS 3R lainnya berstatus tidak aktif, bahkan 10% TPS 3R sisanya tidak jelas statusnya (Systemiq, 2021).
Satu-satunya 'rumah sampah' yang beroperasi di Saparua adalah Bank Sampah Kalapori Jaya yang terletak di Negeri Mahu. Bank Sampah ini memiliki jam operasional setiap Hari Sabtu pukul 13:00 - 15:00 WIT. Pada saat saya dan istri mengunjungi Negeri Mahu pada jam operasional ini, tampak beberapa anak membawa sampah dari rumahnya untuk dibawa ke Bank Sampah ini. Sampah berjenis plastik multilayer, gelas plastik, dan botol plastik adalah tiga jenis sampah yang dapat diterima di Bank Sampah ini. Sampah akan ditimbang oleh Kak Ola sebagai Petugas Bank Sampah, kemudian beratnya dicatat ke dalam buku tabungan nasabah oleh Kak Cia.
Kami merasa beruntung karena dalam kunjungan pertama ke Bank Sampah ini dapat bertemu dengan Ibu Raja Christina Lawalata, yang menjadi inisiator berdirinya Bank Sampah ini. Kegiatan Bank Sampah di Negeri baru dimulai dua bulan lalu dan bertempat di sebuah bangunan eks pasar yang berdiri di tanah negeri. Ibu Raja menerima aspirasi dari warganya dan memberikan dukungan penuh dengan menyediakan dua tong sampah terpilah di beberapa titik di Negeri Mahu, untuk pemilahan sampah kertas dan sampah plastik. Selain itu, Ibu Raja juga menempatkan Bank Sampah sebagai salah satu unit usaha BUMNeg (Badan Usaha Milik Negeri), sehingga Negeri dapat memberikan dukungan penyertaan modal untuk operasional kegiatan Bank Sampah.
Berupaya menggali lebih lanjut, Ibu Raja menyampaikan bahwa Bank Sampah ini sebenarnya belum memiliki pengepul atau offtaker. Menurut saya, hal ini sebetulnya kurang ideal, karena sampah terrpilah yang diterima dari warga akan terus menumpuk di gudang, akibat tidak bisa keluar dibawa ke pabrik daur ulang. Belum lagi, harga jual di Pengepul sebenarnya menjadi patokan harga pembelian ke nasabah agar Bank Sampah tidak merugi dalam melakukan jual-beli. Namun, dua jempol mesti diacungkan untuk Ibu Raja yang ternyata memiliki pemahaman bahwa tujuan Bank Sampah adalah murni untuk mewujudkan lingkungan yang bersih di Negeri Mahu. Dengan demikian, inisiatif ini dimengerti sebagai bentuk layanan publik kepada masyarakat, sehingga sepenuhnya dapat dibiayai oleh APBDes.
Di akhir kunjungan, kami berfoto bersama di depan plang tulisan Bank Sampah Kalapori Jaya. Sungguh suatu kebahagiaan, kami yang selama ini berkecimpung di dunia bank sampah boleh langsung bertemu dengan pegiat bank sampah di negeri seberang. Dalam perjalanan pulang, kami sempat berjumpa dengan Bapak Sami selaku Ketua/Direktur Bank Sampah sekaligus Direktur BUMNeg. Terkonfirmasi: Bapak Direktur BUMNeg memiliki visi yang sama dengan Ibu Raja, sehingga kami memperkirakan inisiatif pengelolaan sampah ini akan berjalan secara lebih berkelanjutan. Selamat buat Negeri Mahu, Selamat buat Saparua. Sekalipun masih berproses, inisiatif cara pengelolaan sampah ini menjadi inspirasi dan niscaya menumbuhkan harapan serta optimisme baru dalam mewujudkan kebersihan dan keutuhan ciptaan untuk Pulau Saparua di masa mendatang.
KP, 05.07.2025
ditulis dari Pulau Saparua, Maluku Tengah
*Foto-foto yang dipublikasikan dalam tulisan ini sudah mendapatkan persetujuan publikasi (consent) dari Ibu Raja Mahu
**Artikel ini juga ditayangkan di akun Kompasiana penulis https://www.kompasiana.com/kris_sal3/6869a36bed641502a035ade2/dari-negeri-mahu-sebuah-inisiatif-cara-pengelolaan-sampah-yang-baru-di-pulau-saparua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar