Laman

Kamis, 12 Desember 2024

Aspek Kelembagaan pada Pengelolaan Persampahan

Mengapa banyak TPS 3R tidak berfungsi? Jawabannya tentu beragam, menyesuaikan dengan kondisi sosial budaya di tempat masing-masing, karena TPS 3R merupakan lembaga pengelola sampah yang berbasis masyarakat. Namun, akhir-akhir ini saya banyak mendapat cerita dari teman praktisi sehingga dalam tulisan ini saya mencoba membahas terkait aspek kelembagaan dalam pengelolaan sampah.

...

Berkaca pada aspek kelembagaan di tingkat kelurahan/desa, Pemerintah Indonesia pun ternyata memiliki pilihan kelembagaan pengelola sampah di tingkat kota/kabupaten. Pemikiran untuk memisahkan antara pihak pengatur (regulator) dan pihak pelaksana (operator) telah melahirkan kelembagaan Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD). Tempat Pemrosesan Akhir Sampah (TPA), misalnya, di beberapa kota/kabupaten yang saya kunjungi beroperasi dengan lembaga UPTD. Lembaga UPTD ini tidak berfokus merumuskan kebijakan, tetapi memberikan layanan pengelolaan sampah akhir di tingkat kota/kabupaten. Bahkan, di Kota Semarang dan Kabupaten Malang beroperasi lembaga UPTD yang memberikan layanan pengangkutan sampah dari TPS ke TPA. Saya menyebut UPTD ini sebagai UPTD Kendaraan, karena lembaga ini melayani kendaraan pengangkut sampah. Di kedua kota ini, Dinas yang membidangi Urusan Kebersihan membagi peran perumusan strategi pada dinas, dan peran pelaksana layanan harian pada UPT-nya.


Pada tahun 2019, Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah pada Unit Pelaksana Teknis mulai diperkenalkan, dan mulai diadopsi oleh Dinas Kesehatan… 

Salah satu Daerah yang sudah memiliki BLUD Persampahan ini adalah Kota Jambi. Pengaturan terkait BLUD diatur dalam Peraturan Walikota Jambi no 25 tahun 2023..

Sabtu, 23 November 2024

Hidup yang Bermakna dengan Retribusi Sampah

Sebagai makhluk hidup, manusia makan dan tidur.

Menjalani kehidupannya, manusia bekerja agar dapat memenuhi kebutuhannya.

Terpenuhi kebutuhannya, apakah lantas manusia dapat dikatakan telah menjalani hidup yang bermakna?

Membaca tulisan blog beberapa tahun yang lalu, saya teringat bahwa saya begitu mengagumi sosok Lord Baden Powell sebagai Bapak Pandu Dunia. Di umur kepala tiga ini saya sepakat, bahwa rasa syukur akan muncul ketika kita meninggalkan dunia ini dalam keadaan lebih baik dibandingkan dengan dunia yang kita temukan sebelumnya

Kita menemukan bahwa di hampir semua event, sampah pasti akan  berserakan di mana-mana. Ketika kita berkenan menyimpan sampah itu dan membawanya pulang, bukankah itu sudah merupakan wujud dari pernyataan "kita meninggalkan (venue event) itu dalam keadaan lebih baik"?

Menjalani hidup dengan mindfulness - sadar penuh, hadir utuh - barangkali merupakan cara menjalani hidup yang bermakna. Sadar, bahwa sampah yang kita miliki adalah tanggung jawab kita masing-masing. Kita wajib mengelolanya secara aman, agar makhluk hidup lainnya (termasuk manusia di sekitar kita) tidak mengalami kerugian. 

Bisa mengolah sampah sendiri adalah hal yang ideal, sama halnya seperti "kebisaan" kita untuk masak makanan dan mencuci baju sendiri. Namun, saya harus realistis bahwa tuntutan kerja membuat kita mungkin tidak bisa melakukan kedua hal sederhana itu. Perihal mengolah sampah pun rasa-rasanya seperti itu. Kita bisa, tetapi (seringkali) tidak ada waktu. Saya mempercayakan sampah-sampah terpilah ini pada lembaga yang mampu mengelola sampah secara baik dan andal. Layanan sampah tentunya membutuhkan biaya operasional - dengan alasan yang sama mengapa orang mau membayar untuk membeli makanan ataupun membayar laundry..

Jadi, hidup yang bermakna itu agaknya sederhana. Membayar retribusi sampah - sejumlah uang yang akan digunakan oleh lembaga pengelola sampah - yang manfaatnya akan kembali lagi ke kita dalam bentuk lingkungan yang bersih, indah, dan membawa dampak positif bagi kesehatan diri dan lingkungan di sekitar kita. Membayar retribusi sampah niscaya membantu kita mewujudkan hidup yang lebih bermakna.

Sabtu, 09 November 2024

Apakah nilai ekonomi sampah akan cukup untuk membiayai operasional pengelolaan sampah? (Bagian I)

Sekilas tentang Ekspedisi Jalur Rongsok Nusantara
.. sebuah ekspedisi yang dilakukan oleh penulis bersama koleganya di Yayasan BINTARI


Rongsok atau rosok adalah kata yang akrab dengan model usaha daur ulang sampah. Model usaha ini mendapatkan keuntungannya dengan membeli rosok dari sumbernya -misalnya dari rumah tangga, untuk dijual kembali dan mengambil margin keuntungan. Model usaha ini berkembang pada tahun 1990an. Para pengepul sampah dinilai sukses, sehingga model usaha ini mulai diadopsi oleh Pemerintah Pusat melalui Kementerian Lingkungan Hidup pada tahun 2008 dengan pembentukan Lembaga Bank Sampah yang dioperasikan secara swadaya di masyarakat. Tujuan pembentukan Bank Sampah ini tidak lain adalah agar dapat menjadi solusi permasalahan sampah yang dihadapi semua Kabupaten/Kota di Indonesia. 

Pengelolaan sampah menjadi kewenangan penuh pemerintah daerah. Menurut Systemiq (2021), rata-rata persentase APBD yang dialokasikan untuk pengelolaan sampah hanya sebesar 0,6%. Sementara itu, Direktur Penanganan Sampah KLHK, Novrizal Tahar, menyampaikan bahwa persentase APBD ideal untuk pengelolaan sampah seharusnya berkisar pada angka 3% (2024). Selisih atau gap alokasi penggunaan APBD antara kondisi eksisting dan kondisi ideal ini di satu sisi menunjukkan ketidakberpihakan pemerintah dalam pengelolaan sampah, yang di sisi lain hendak coba ditutupi nilainya dengan membentuk Bank Sampah di Indonesia. Terakhir, Menteri Lingkungan Hidup di Kabinet Merah Putih berencana membentuk 5.000 Bank Sampah baru. (Dari Bangun 5000 Bank Sampah Hingga Penerapan Denda Administrasi pada Pelaku Usaha - rindang.ID). 

Pertanyaannya, apakah nilai ekonomi dari sampah akan dapat menggerakkan roda pengelolaan sampah secara berkelanjutan? Apakah nilai ekonomi dari sampah dapat menutup gap antara APBD eksisting dengan APBD ideal, sehingga kita dapat mengelola sampah kita secara lebih baik dan andal? 

... (bersambung)


KP
Penulis merupakan Peneliti di Yayasan BINTARI sekaligus Praktisi di Bank Sampah Induk Salatiga.