Pada tahun 1961, Bung Karno mengatakan kalimat ini dalam pidato beliau dalam rangka Hari Pahlawan. Saya meyakini dan semakin meyakini kebenaran dari kalimat ini setelah merefleksikan peran pemuda atau mahasiswa dalam pembangunan "kota satelit" di sebuah kota.
Ketika saya membandingkan pembangunan bidang angkutan umum di Kota Salatiga yang berpusat di daerah Tamansari, dengan pembangunan kawasan mahasiswa di daerah Kemiri, saya merasakan betul sebuah kekuatan dari pemuda/ mahasiswa. Walaupun Kota Salatiga terletak di segitiga emas Joglosemar (Jogja - Solo - Semarang), di mana ketiga kota tersebut telah memiliki sistem angkutan umum bus rapid transit (BRT), ternyata nyaris tidak ada aktor pemuda yang memperjuangkan sistem ini untuk juga dapat diadopsi oleh Salatiga. Sejak tahun 2000an Indonesia telah berhasil dijajah dengan era kendaraan bermotor roda dua yang ditandai dengan kemudahan pembelian sepeda motor secara kredit. Menurut pengamatan saya, relasi mahasiswa dengan sepeda motor menjadi lebih akrab dibandingkan dengan relasi mahasiswa dengan angkutan umum. Angkutan umum adalah angkutannya anak sekolah dan ibu-ibu, yang mungkin karena keterbatasannya - belum/ tidak bisa mengendarai sepeda motor - tidak mempunyai pilihan lain selain naik angkutan umum. Karena nyaris tidak ada aktor pemuda yang memperjuangkan peningkatan layanan dan kapasitas angkutan umum, pembangunan postmodernisme di bidang transportasi yang pro-rakyat dan pro-lingkungan tadi ternyata menjadi sangat minim. Di Salatiga hal ini juga diperparah dengan kurangnya peran akademisi/ kampus - kampus di Salatiga - sebagai tempat berkumpulnya pemuda - yang sampai saat ini belum mempunyai jurusan kuliah Teknik Sipil dan Lingkungan ataupun Perencanaan Wilayah dan Kota
Di sisi lain, perjuangan peningkatan layanan dan kapasitas di kawasan mahasiswa yang sebagian besar berpusat di daerah Kemiri tadi ternyata menuai sukses. Dalam 5 tahun terakhir ini daerah Kemiri disulap tidak hanya menjadi daerah kos-kosan elit, tetapi juga menjadi daerah yang menawarkan banyak pilihan restoran, cafe, dan tempat nongkrong postmodern bagi Warga Salatiga. Pengaruh postmo di daerah ini telah melahirkan sebuah identitas baru untuk Kota Salatiga. Salatiga yang semula hampir semua aktivitas ekonominya sudah tutup pada pukul 20 malam, kini memiliki "daerah satelit" Kemiri yang aktivitasnya bisa mencapai pukul 22 malam, bahkan hingga pukul 24 malam. Masakan soto di warung yang semula hanya bisa didapatkan sampai dengan pukul 15 sore, kini di daerah mahasiswa ini juga bisa didapatkan hingga pukul 24 malam. Para pemuda itu telah mengguncangkan dunia Salatiga dengan pembangunan-pembangunan postmodernisme, yang dalam hal ini pro-rakyat (pro-pemuda).
Ketika hipotesis ini saya uji kembali di kawasan sebagian besar mahasiswa Semarang - daerah Banyumanik/ Tembalang - ternyata saya juga mendapatkan hasil pengamatan yang serupa. Daerah ini benar-benar menjadi sebuah kota satelit baru bagi Kota Semarang. Sebuah kota satelit yang ditanami tiang-tiang beton menjulang tinggi (bukan tanaman dan pepohonan), pijaran lampu-lampu cafe yang berpendar memenuhi pemandangan kiri kanan jalan di malam hari (bukan kesederhanaan dan penghematan energi), dan kemacetan lalu lintas yang ada (penuh kendaraan bermotor pribadi, bukan sebuah transportasi yang berkelanjutan), secara nyata dan meyakinkan telah mengguncang dunia Kota Semarang. Kini, Kota Semarang tidak hanya dikenal sebagai kota perdagangan dengan kawasan Simpang Lima nya, atau kota klasik dengan kawasan Kota Lamanya, atau kawasan banjir dan rob dengan Tanah Mas/ Tambak Lorok nya, tetapi secara cepat benar-benar mempunyai identitas lain berkat peran pemuda. Sayang, kemacetan lalu lintas di daerah Banyumanik/ Tembalang ini pun menjadi sebuah gambaran belum terlihatnya peran pemuda yang bergerak untuk memperjuangkan pembangunan postmodernisme di bidang angkutan umum. Mungkin, tantangan topografi Banyumanik - Tembalang menjadi sebuah faktor penghambat pembangunan angkutan umum, tetapi mungkin saja relasi dialektis (dan trialektis?) antara pemuda dan sepeda motor sudah sedemikian intens, sehingga pintu perubahan moda transportasi ke transportasi yang berkelanjutan kian hari kian menjadi sempit.
Pertanyaannya, siapakah yang telah menjadi Bung Karno bagi "pemuda-pemuda sepeda motor" ini? Siapakah pihak yang paling diuntungkan dengan adanya pemuda-pemuda yang membangun kota satelit menjadi kota seperti hari ini? Dan seberapa siapkah kita sebagai kaum akademisi dan praktisi, untuk bersaing berebut pengaruh ke pemuda-pemuda ini, agar pembangunan di sebuah lingkungan perkotaan dapat semakin mengarah pada sebuah pembangunan kota dengan transportasi yang berkelanjutan?
KP, 2022.
Tulisan ini merupakan salah satu tugas kuliah penulis. Semoga bisa sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui: dulu penulis sempat menjadi seorang pegiat angkutan umum dan pada bulan Desember 2022 nanti berencana untuk comeback
Tidak ada komentar:
Posting Komentar