Resensi Buku
Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura
Sampul Depan Buku "Menghidupkan Mimpi ke Negeri Sakura" |
Siapa yang belum pernah mendengar tentang pohon sakura?
Membayangkan suasana berteduh di bawah pohon sakura berwarna merah jambu
membawa hati ini menjadi syahdu. Indah, begitu indah rasanya. Ingin, ingin sekali
saya merasakan suasana ini, walau hanya sebatas mimpi.
Identitas negeri Jepang sebagai negeri sakura
rupa-rupanya bukan semata-mata karena keindahan warna daun pohon sakura. Ada
suatu keindahan lebih yang bernama budaya. Manga
dan anime Jepang – lah yang
menceritakan kehidupan orang Jepang bersama pohon sakuranya. Informasi tentang
pohon ini tidak akan pernah sampai ke Indonesia (dan seluruh penjuru dunia),
apabila orang Jepang bukanlah orang yang mencintai alam dan budayanya.
Setidaknya sangat jelas bagi saya, bahwa keindahan negeri sakura bukan hanya
karena pohonnya, melainkan juga karena kekuatan budayanya.
Mimpi yang menjadi semakin indah ini mungkin hanya akan
terus menjadi sebuah mimpi belaka, mengingat biaya hidup di Jepang yang terkenal
sangat mahal. Akan tetapi, bagaimana seandainya mimpi ke negeri sakura itu
benar-benar bisa diwujudkan? Buku yang berjudul “Menghidupkan Mimpi ke Negeri
Sakura” mengajak kita untuk menghidupkan mimpi itu. Melalui kisah-kisah inspiratif mereka yang bersifat
personal, mahasiswa-mahasiswi Indonesia yang tergabung dalam PPI Osaka – Nara
(Perhimpunan Pelajar Indonesia Osaka – Nara) berusaha menyingkap kiat sukses
mereka memperoleh beasiswa hingga sukses menyelesaikan kuliah di Jepang.
Beraneka-ragamnya
latar belakang mahasiswa-mahasiswi ini menjadi kekuatan tersendiri dari
kisah-kisah inspiratif mereka di buku ini. Gagus Ketut Sunnardianto misalnya,
anak seorang penjual jamu tradisional yang menjadi penerima beasiswa Monbukagakusho (pemerintah Jepang) untuk
program lima tahun (S2 dan S3). Mahasiswa yang relatif tidak berduit ini justru
memanfaatkan kekuatan DUIT (Doa, Usaha, Ikhtiar dan Tawakal) yang bernama rasa nelongso dan prihatin sebagai kekuatan
besar untuk berjuang. Kisah yang tak kalah menarik datang dari Narila Mutia
Nasir, penerima beasiswa program doktor (S3) yang berstatus sebagai seorang
ibu, istri, dan mahasiswi tatkala berkuliah di Osaka. Narila ini bahkan pernah
melakukan presentasi di sebuah konferensi internasional sambil menggendong
bayinya yang bernama Nura! Ia membuktikan bahwa tiga peran yang harus ia jalani
bukan menjadi suatu penghalang untuk mewujudkan mimpi.
Sifat personal dari kisah-kisah
inspiratif di buku ini juga tidak melulu soal perjuangan akademik mereka,
tetapi juga perjuangan dalam kehidupan berumah-tangga. Sastia Prama Putri tak
ragu membagikan dilema yang terjadi dalam kehidupan rumah tangganya, ketika
suaminya yang seorang dosen harus melakukan pekerjaan “kasar” seperti kuli
angkut atau mencuci piring di Osaka karena mesti berkorban untuk karier
akademik istrinya. Masalah adaptasi anak yang dibawa si penerima beasiswa pun
dipertegas oleh Rouli Esther Pasaribu, di mana ia sempat mengalami ketakutan
perkara bully dan masalah
perkembangan anaknya yang harus menghadapi kendala bahasa ketika menjadi ikut
bersekolah ke luar negeri.
Beasiswa kuliah di negeri sakura pun
tidak hanya terbatas bagi mereka-mereka yang berkecimpung di dunia sains. Okie
Dita Apriyanto yang berkuliah S1 Sastra Jepang adalah penerima beasiswa MEXT
program Japanese Studies selama 1
tahun. Penggemar tarian Yosakoi ini berkesempatan melihat langsung Festival
Yosakoi di kota Kochi, kota di mana tarian tersebut berasal. Pengalaman ini
menjadi bekal berharga bagi Okie untuk kemudian menyampaikan “oleh-oleh”
tersebut kepada masyarakat Surabaya melalui Festival Yosakoi Unitomo yang
dirintisnya. Melalui kisah yang berjudul “Tak Ada Jalan yang Tak Sampai”, Teguh
Setia Anugeraha yang mengambil kuliah jurusan bahasa dan sastra Jepang juga
berkesempatan menerima beasiswa Monbukagakusho
program Japanese Studies.
Keberhasilan yang ia peroleh merupakan buah dari semangatnya untuk selalu
bangkit walau diterpa kegagalan bertubi-tubi. Sejak tingkat satu, Teguh sudah
mengikuti berbagai kesempatan untuk bisa pergi ke Jepang, di antaranya tes
beasiswa, duta budaya, dan lomba pidato, yang kesemuanya itu sayangnya selalu
berujung pada kegagalan. Namun, kegagalan demi kegagalan itu pun terbayarkan di
tingkat akhir perkuliahan, di mana akhirnya Teguh berhasil menyabet juara kedua
lomba pidato tingkat nasional dan kesempatan beasiswa Monbukagakusho sekaligus!
Di akhir setiap kisah inspiratif
ini, masing-masing kontributor kisah inspiratif diberi kesempatan untuk
menuliskan biodatanya secara singkat. Saya sedikit menyayangkan
ketidakseragaman struktur informasi yang diberikan oleh para kontributor,
misalnya ada yang menuliskannya dalam bentuk narasi, ada yang dalam bentuk
poin-poin saja, dan ada pula yang sama sekali tidak menuliskan biodatanya. Ketidakseragaman
ini barangkali dapat membuat pembaca merasa geram apabila kontributor yang
ingin dihubungi ternyata tidak menyertakan alamat korespondensi. Selain itu,
ketidakseragaman ini juga secara tidak langsung menghadirkan kesan bahwa proses
editing kisah-kisah dalam buku ini
kurang berjalan dengan baik. Saya berpendapat bahwa 1 – 2 kisah dalam buku ini
sebaiknya tidak ikut disertakan dalam buku ini karena kisah mereka memiliki ide
pengembangan cerita yang cukup berbeda dengan yang diharapkan oleh penyusun
buku.
Kekuatan dari keanekaragaman yang ingin
disatukan menjadi sebuah buku ini ada baiknya dilengkapi dengan pengelompokkan
kisah (clustering), misalnya
berdasarkan kemiripan kesulitan yang dihadapi atau berdasarkan jurusan kuliah
yang ditempuh. Dengan adanya pengelompokkan semacam ini, pembaca dengan mudah
akan menemukan siapa kira-kira kontributor yang dapat menjadi inspirator
utamanya. Penyusun juga ada baiknya memberikan sebuah halaman ekstra di akhir
buku yang dapat merangkum kisah-kisah ini secara garis besar, misalnya dengan
memberikan poin-poin super penting yang bisa dipetik dari seluruh kisah, atau
dengan memberikan bagan tentang jalur-jalur beasiswa yang ada yang disertai
dengan pemetaan siapa saja kontributor di dalam buku ini yang berhasil menerima
beasiswa dengan jalur tersebut. Informasi seperti ini pastinya akan sangat
berguna bagi pembaca awam yang masih asing dengan istilah Mombusho, Monbukagakusho,
MEXT, dan lain sebagainya.
Setelah menimbang kekuatan dan
kelemahan buku ini, saya sangat merekomendasikan buku ini supaya dibaca oleh
para pelajar dan mahasiswa dari seluruh lapisan masyarakat. Ide penyusunan buku
ini menjadikan buku ini tidak mengenal batasan pembaca, baik itu berdasarkan
tingkat pendidikan, usia, status, maupun batasan kemampuan finansial, sehingga
sangat ideal dengan kondisi masyarakat Indonesia yang memang Bhinneka Tunggal
Ika. Kekuatan yang dimiliki oleh kisah-kisah inspiratif dalam buku ini
benar-benar mampu untuk menghidupkan mimpi pembaca berkuliah ke negeri sakura.
Ganbatte kudasai!
Penulis resensi:
Kristanto Irawan
Putra
Mahasiswa S1
Bioteknologi
Molekuler Universitas Heidelberg
Tidak ada komentar:
Posting Komentar