SEBUAH SENI UNTUK BERSIKAP BODO AMAT
Beberapa hari yang lalu, aku baru saja menamatkan membaca sebuah buku hits yang berjudul "Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat" karya Mark Manson. Buku ini merupakan sebuah buku yang memiliki nilai sejarah untukku
- Aku tidak ingat persis kapan pertama kali aku mengetahui tentang buku itu. Apakah ketika melakukan foto-shopping di Gramedia atau apakah ketika sahabatku Novi menyebutkan buku itu mengenalkan padaku untuk pertama kalinya
- Sahabat lamatku, Teja, sempat menyebutkannya juga di telepon atau ketika kunjungannya ke Tangerang di awal bulan Mei. Sebuah buku yang berjudul "The Subtle Art of not Giving a F*ck", judul asli buku ini sebelum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Sahabatku ini memang selalu update dengan buku-buku terbaru, khususnya buku-buku yang berbahasa Inggris.
Aku yang tengah mengalami gamang dan gundah gulana akhirnya memberanikan diri meminjam buku ini dari sang empunya, Novi, dan membawanya dalam wisata rohaniku ke kota pahlawan, Surabaya, kira-kira pertengahan Mei.
Lembar demi lembar buku itu kubaca sambil kurenungkan, sambil kunikmati masa-masa semadiku di dalam sebuah kamar tidur kapsul yang menjadi pilihan tempat istirahatku di ibukota propinsi Jawa Timur ini. Singkat cerita, di hari akhir kunjunganku ke Surabaya, kupinjamkanlah buku itu pada seorang adik alumni yang sangat menginspirasiku, Tasya namanya. Ia tampak begitu antusias memindai tulisan dalam buku-buku itu dari halaman satu ke halaman berikutnya, sambil sesekali mengaktifkan fitur kamera di HP-nya untuk mengabadikan tulisan-tulisan yang yang membuatnya terkesan. Melihat hal itu, langsung kutawarkan buku itu untuk ia pinjam. Ia tampak lebih membutuhkan buku itu daripada aku.. saat itu.
Hari demi hari berganti, minggu demi minggu berlalu, dan bulan demi bulan terlewatkan. Jujur, aku sempat merasa keliru telah meminjamkan buku itu pada adik itu, karena ia tak kunjung mengembalikannya. Menurutku, aku pribadi bukanlah seorang debt collector buku. Ada rasa trust yang sedang aku jaga, trust dari Novi yang perlu aku jaga. Sudah lama aku meminjam buku itu. Ini bukunya, aku tahu betul bahwa bagi sahabatku ini, buku adalah harta karunnya.. aku terjebak dalam dilematika rasa nggak enak'an ini. Nggak enak jadi debt collector terus ke Tasya, dan nggak enak ke Novi karena belum kunjung mengembalikan buku. Aku mengalah. Kubelikan Novi buku baru supaya bisa menggantikan buku lamanya yang telah kupinjam cukup lama ini. Ia menerimanya. Syukur kepada Allah.
.. dan ternyata Tuhan mempunyai rencana yang indah di balik semua ini. Suatu malam, ketika diriku kalut dan bergerak menuju TBM untuk memasang jam dinding yang baru, kulihat sebuah paket buku yang dibungkus tas kresek berwarna hitam. Aku merasa cukup mengenal dengan tulisannya, dan taraaa.. Adikku Tasya akhirnya mengembalikan buku itu. Aku bisa membacanya lagi. .. dan saat di mana aku bisa membacanya lagi adalah ketika suasana hatiku sedang kalut. Barangkali jawabannya ada di buku itu. Tuhan sepertinya sedang memberi petunjuk bahwa buku itu adalah buku yang perlu aku baca.
Buku itu.. luar biasa. Tulisan "Sebuah pendekatan yang waras untuk menjalani hidup yang lebih baik" memang pantas disematkan untuk isi dari buku itu. Eitsss, aku tidak mau melakukan spoiler, aku tidak akan menjelaskannya secara panjang lebar di tulisan ini karena ini memang bukan bedah buku atau sinopsis. Barangkali satu hal saja yang mau aku sebut di sini: Bagaimana kita sebenarnya akan menjadi lebih bahagia ketika berani mengatakan tidak.
Mmm, praktik memang tidak segampang teori. Membaca buku ternyata tidak serta merta membuat kita otomatis akan mengalami level-up. Aku merasa melakukannya lagi hari ini: menyakiti hati seorang wanita, yang barangkali telah meluangkan waktunya yang sempit untuk tetap bisa bertemu memberikan kontribusinya untuk komunitas ini. .. dan aku telah pergi meninggalkannya, demi seorang teman lama lainnya yang mengunjungiku karena merasa khawatir dengan sebuah penyakit yang sedang aku derita. Pilihan yang memang tidak gampang.
Aku.. sempat mendapatkan kesempatan untuk bisa mengatakan tidak pada teman lamaku ini (ia sebenarnya punya janji dan aku meyakinkannya untuk membatalkan janjinya), tapi lagi-lagi rasa nggak enak'an yang aku punya ini telah membuatku akhirnya meninggalkannya, melukai hati seorang wanita ini..
Dear seorang wanita di seberang sana, maaf. Aku ternyata masih harus belajar lagi untuk berani mengatakan tidak. Aku berharap, pernyataan maafku ini akan bisa sampai padamu. Mungkin, masalah yang kini sedang membentang di antara kita ini adalah suatu ujian yang sedang diberikan Tuhan agar aku akhirnya bisa mengalami yang namanya level-up. Aku mau lebih bijak dalam membuat pilihan, bukan berdasarkan karena rasa nggak enak, melainkan lebih berdasarkan karena aku memang memilihnya dengan penuh kesadaran setelah menimbang-nimbangnya dengan penuh kebijaksanaan..
NARUTO
Akhir tulisan, apabila alasan Om Pram menulis adalah bekerja untuk keabadian ("Menulis adalah bekerja untuk keabadian"),
tulisan ini ingin kututup dengan alasanku menulis: "Menulis adalah suatu bentuk kagebunshin bagi orang ekstrovert"
Aku.. mungkin bukan benar-benar seorang introvert seperti yang orang-orang kira. Entah karena aku membaca Naruto atau di kehidupan sebelumnya memang pernah berlatih di Gunung Myoboku, aku merasa aku menguasai ilmu Senjutsu: selalu merasa bisa mendapatkan energi dari orang baru, lingkungan baru.. Orang "ekstrovert" sepertiku rasanya perlu menulis agar orang-orang di sekelilingku tetap bisa memperoleh chakra dariku, seseorang yang mungkin akan masuk kategori kuda liar menurut Dee Lestari.