UKSW Salatiga - Puluhan
mahasiswa UKSW dan karang taruna Rowoboni, Banyubiru mengikuti lokakarya
lingkungan hidup "Air Kita Masa Depan Kita" kemarin (Selasa,
09/02/2016). Selain materi dari
akademisi dan praktisi, lokakarya ini juga dimeriahkan oleh pelaku seni.
"Ketika ilmu akademisi dikolaborasikan
dengan seni", itulah konsep yang digagas oleh TUK - Komunitas Tanam Untuk
Kehidupan, sebuah komunitas lingkungan hidup yang secara rutin menyelenggarakan
Festival Mata Air untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan arti penting
mata air bagi kehidupan. Adapun lokakarya ini merupakan hasil kolaborasi TUK
dengan Fakultas Biologi UKSW (FB UKSW) dalam rangkaian kegiatan Festival Mata
Air tahun ini.
Napas seni sudah dapat dirasakan oleh peserta
lokakarya sejak dimulainya acara. Buyung Mentari sukses mengguncang seisi
ruangan dengan pembacaan puisinya yang berjudul "Mata air ada, kita juga
ada, untuk saling menjaga". Acara kemudian dilanjutkan dengan pemberian
sambutan dari TUK yang disampaikan oleh Dody Pratisto. Dody berharap lokakarya
ini dapat membantu mengatasi permasalahan sampah di Muncul, Banyubiru melalui
pengenalan konsep Bank Sampah. "Banyak sekali ditemukan sampah di
sungai-sungai Muncul pada kegiatan bersih sungai 24 Januari lalu", sebut
Dody. Selanjutnya, Sucahyo, selaku Kaprodi Biologi FB UKSW menyampaikan dalam
sambutannya bahwa mahasiswa/i Biologi pun telah bergerak dan memang harus
terlibat dalam kegiatan-kegiatan lingkungan hidup.
Usai sambutan, acara lokakarya ini dilanjutkan
dengan pementasan teater gabungan Postma dari STIE AMA dan Getar dari IAIN Salatiga. Cerita yang diusung oleh
teater ini mengilustrasikan bagaimana manusia dengan mudahnya membuang sampah
di sungai. Para penonton begitu terkesima melihat aksi si air dan si sampah
yang diperankan langsung oleh para pemeran teater. Manusia memang seringkali
khilaf, selalu menyalahkan sungai yang kotor dengan sampah tanpa menyadari
bahwa ialah yang bertanggung jawab terhadap semuanya itu.
Materi lokakarya pertama yang disampaikan oleh
Sucahyo mempertegas itu semua. "Sungai sebenarnya berfungsi untuk mencegah
banjir, tetapi manusia seringkali beranggapan bahwa sungai yang meluaplah yang
menyebabkan banjir", ujar Sucahyo. Sungai oleh masyarakat Indonesia memang
masih dipandang sebagai salah satu tempat
yang "efektif" untuk pembuangan sampah. Beliau menuturkan hal ini
terjadi karena masyarakat mempunyai paradigma bahwa sampah itu tidak bernilai
dan harus cepat-cepat dibuang. "Sesudah dibuang di sungai, sampah akan
dialirkan sampai jauh hingga tak terlihat lagi oleh mata pembuangnya,
efektif bukan?", kata Sucahyo
menjelaskan.
Sesi tanya jawab pun berlangsung seru. Penanya
dari berbagai latar belakang bertanya dalam kesempatan ini, ada Agus dari
bagian DPU Kab. Semarang, Herman dari Fakultas Teologi UKSW, dan Lusi, dosen
dari FB UKSW. Menjawab pertanyaan-pertanyaan, Sucahyo sekaligus mengakhiri sesi
materi pertama ini dengan mengajak para peserta untuk mengubah paradigma lama
tentang sampah dan sungai tadi sebagai solusi utama untuk menyelesaikan masalah
sampah. "Sampah memberikan keuntungan (benefit), bukan biaya (cost), ini
paradigma barunya".
Materi yang kedua disampaikan oleh Siti Alimah
selaku direktur Bank Sampah Wares Tegalrejo, Salatiga. Para peserta dibuat
penasaran dengan barang-barang kerajinan yang di-display di atas meja. "Kesemuanya ini terbuat dari sampah
lho". Beliau kemudian memutar video tentang Bank Sampah Wares,
memperkenalkan konsep Bank Sampah yang sudah berjalan di RT 03 RW 04 di Kel.
Tegalrejo. Di dalam video ini, terlihat ibu-ibu yang menyetor sampah pada hari
Jumat, kemudian pengelola menimbang dan mencatat setoran mereka untuk
dimasukkan ke dalam buku tabungan sampah. Hari Sabtunya, pengelola akan
memilah-milah sampah ini, menyortirnya, mencuci, kemudian meneruskannya ke ibu-ibu bagian pembuat kerajinan.
"Alhamdulilah, nasabah bank sampah ini bisa memperoleh SHU (Sisa Hasil
Usaha) paling sedikit Rp 250.000,00 setiap tahunnya", kata beliau.
"Sampah bisa jadi berkah kan?", tanya beliau yang menyampaikan materi
bank sampah ini dengan interaktif.
Barang kerajinan yang sudah mampu dikerjakan
oleh Bank Sampah Wares antara lain tas wanita, korden, piring, gelas, dan
mainan anak-anak. Selanjutnya, Ibu Alimah dan ketiga rekannya memberikan pelatihan
pembuatan barang-barang kerajinan ini kepada para peserta. Mereka terlihat
begitu antusias mengikuti pelatihan ini. "Sampah yang digunakan
benar-benar ada di sekitar kita. Bungkus kopi sachet, saya 'kan minum kopi tiap hari. Daripada dibuang gitu saja,
mending saya kumpulin dibuat barang
kerajinan seperti ini", tutur seorang peserta. Sayang, pelatihan tidak
bisa dilanjutkan sampai selesai karena keterbatasan waktu. "Bagi yang
tertarik, silakan nanti main ke Wares di Tegalrejo", ajak Siti Alimah.
Dengan berakhirnya pelatihan dari bank sampah
ini, berakhir pulalah lokakarya "Air Kita Masa Depan Kita" ini. Menjadi
sekedar ’hanya bicara’ ataupun akan membuahkan sebuah gerakan yang berguna bagi
lingkungan, akan sangat bergantung pada seberapa ’mau dan mampu’ kita untuk
mengambil bagian dalam berperan. Hal ini menjadi tanggung jawab kita bersama.
Siap untuk memandang sampah sebagai berkah?
Sumber:
http://www.kompasiana.com/kris_sal3/lokakarya-air-kita-masa-depan-kita-di-uksw-9-februari-2016_56bab5bc2e7a615109319e90